KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Aetra Air Jakarta mengaku belum mengetahui isi putusan Mahkamah Agung (MA) soal swastanisasi air di Jakarta. "Yang jelas sampai sekarang belum menerima putusan jadi belum bisa menanggapi apa-apa," ungkap Direktur Utama Aetra, Muhammad Selim saat dihubungi KONTAN, Rabu (11/10). Berdasarkan putusan MA, Aetra bersama dengan PT PAM Lyonnaise Jaya diharuskan menghentikan kebijakan swastanisasi air minum di Provinsi DKI dan mengembalikan pengelolaan air minum di Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1992 dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dengan begitu, dapat melaksanakan Pengelolaan Air Minum di Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai hak asasi atas air sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 dan 12 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang Undang Nomor 11 Tahun 2005
juncto Komentar Umum Nomor 15 Tahun 2002 Hak Atas Air Komite Persatuan Bangsa-Bangsa Untuk Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Aetra mengoperasikan dan memelihara sistem penyediaan air bersih dan melakukan investasi di wilayah Timur Jakarta erdasarkan kontrak kerjasama dengan PAM JAYA selama 25 tahun yang dimulai pada tahun 1998 sampai 2023. Sekadar tahu saja, dalam salinan putusan kasasi MA yang dikutip Kontan.co.id, Rabu (11/10) menyatakan, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta dinyatakan telah merugikan Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan masyarakat DKI Jakarta terkait swastanisasi air di Ibu Kota. Kasasi yang diajukan oleh masyarakat Jakarta yang bergabung Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KKMMSAJ) itu akhirnya diterima oleh MA pada April lalu. Bertindak sebagai ketua majelis Nurul Elmiah mennyatakan, para tergugat (Aertra dan Palyja) telah melakukan perbuatan melawan hukum Sebab, menyerahkan kewenangan pengelolaan air Jakarta kepada pihak swasta dalam wujud Pembuatan Perjanjian Kerjasama (PKS) tertanggal 6 Juni 1997 yang diperbaharui dengan Perjanjian Kerjasama (PKS) tanggal 22 Oktober 2001 yang tetap berlaku dan dijalankan hingga saat ini.
Dalam pertimbangannya, terdapat bukti dan fakta hukum ternyata perjanjian kerjasama swastanisasi air Jakarta telah melanggar Perda No. 13/1992. Bahkan Nurul menilai, perjanjian kerjasama tersebut membuat pelayanan dan engelolaan air bersih dan air minum warga Jakarta tidak meningkat dari segi kualitas, kuantitas, dan kontinuitas. Atas hal tersebut pun membuat PAM Jaya kehilangan kewenangan pengelolaan air minum karena dialihkan kepada swasta. Adapun hal tersebut menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan sekaligus menganulir putusan Pengadilan Tinggi. Nurul juga menyampaikan, majelis hakim pada Pengadilan Tinggi telah salah dalam menerapkan hukum dalam menilai kedudukan hukum para pemohon kasasi. "Mengadili, mengabulkan gugatan Para Penggugat sebagian, dan menyatakan Para Tergugat lalai dalam memberikan pemenuhan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia atas air terhadap warga negaranya, khususnya masyarakat DKI Jakarta," tulisnya dalam amar putusan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia