Afiliasi Lippo dan OVO berujung monopoli, BPKN: Regulator harus turun tangan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI) menilai penggunaan aplikasi OVO, sebagai alat pembayaran resmi di fasilitas umum yang dikelola afiliasinya yang bernaung di bawah Grup Lippo, dianggap sebagai bentuk pemaksaan yang melanggar hak-hak konsumen.

Selain itu, BPKN juga menyoroti hal tersebut dapat merusak persaingan pasar yang sehat.

“Persoalan payment gateway yang mengharuskan parkir di satu tempat tertentu, seperti di pusat perbelanjaan untuk menggunakan aplikasi [pembayaran] terafiliasi seperti yang diduga dilakukan OVO dan Lippo, itu merupakan wujud monopoli,” ujar Wakil Ketua BPKN Rolas Budiman Sitinjak dalam keterangan pers, Jumat (19/7).


Untuk menertibkan praktik-praktik yang mengancam persaingan usaha yang sehat tersebut, Rolas menghimbau agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera turun tangan. Menurut Rolas, selain Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), OJK memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar. “Karena ini melibatkan Fintech,” tegasnya.

Di kesempatan yang berbeda, KPPU melihat, ada indikasi praktik bisnis yang kurang sehat yang dilakukan oleh platform pembayaran yang juga terafiliasi dengan Grup Lippo tersebut. “Penelitian oleh KPPU dilakukan di semua tempat parkir perbelanjaan,” ujar komisioner sekaligus juru bicara KPPU ini.

Maka, jika ada alasan pembayaran merupakan bagian dari ekosistem platform digital, hal ini menurut Guntur tak bisa dibenarkan. “Konsumen tetap memiliki ruang untuk memilih penyedia jasa,” katanya.

Sebab pusat perbelanjaan merupakan tempat yang terbuka untuk umum. Bukan tempat yang hanya boleh didatangi pihak terbatas. ”Pusat perbelanjaan itu jatuhnya publik,” kata Guntur.

Bukan hanya itu, sekalipun Lippo dan OVO terafiliasi, memberikan kewenangan kepada OVO saja untuk mengelola metode pembayaran di lahan parkir pusat perbelanjaan milik Lippo juga seharusnya tidak diperbolehkan. Pasalnya, hal ini menutup peluang terhadap pelaku lain yang memiliki layanan dan kemampuan seperti OVO.

KPPU saat ini memang masih melakukan penelitian lebih lanjut, mulai dari latar belakang sampai praktik yang terjadi melibatkan OVO di pusat perbelanjaan milik Lippo. “Setelah ini baru meningkat ke penyelidikan,” ucap Guntur.

Hal senada diungkapkan Pengamat Transportasi dan Kebijakan Publik Universitas Trisakti Yayat Supriatna. Dia berkesimpulan bahwa praktik monopoli dalam metode pembayaran pada jaringan perusahaan terafiliasi itu, membuka tabir bahaya monopoli di masa mendatang.

“Dimulai dari aksi jor-joran promo di layanan transportasi yang terafiliasi dengan OVO, itu hanya permukaan. Di balik itu, terjadi gurita paymen gateway yang disokong modal besar, seperti OVO. Memaksa seluruh konsumen menggunakan cara pembayaran tunggal, lama kelamaan pesaing mati, konsumen pun semakin ketergantungan,” ungkap Yayat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .