KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Skema pembayaran
tadpole (kecebong) di industri
fintech peer to peer (P2P)
lending atau pinjaman daring (pindar) tengah menjadi sorotan. Skema itu merupakan pola cicilan yang lebih besar di awal dan mengecil pada periode berikutnya. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) turut angkat bicara mengenai adanya skema pembayaran
tadpole tersebut. Ketua Umum AFPI Entjik Djafar tak memungkiri bahwa skema pembayaran
tadpole sangat diminati masyarakat, terutama bagi pedagang kecil atau ultra mikro yang membutuhkan pembiayaan kecil dan jangka pendek. Entjik juga menyebut skema pembayaran
tadpole tersebut menjadi ruang relaksasi bagi industri keuangan di tengah kondisi ekonomi saat ini. Dia bilang skema tersebut memiliki kelebihan yang berguna bagi
borrower sehingga banyak diminati.
Baca Juga: Bank Masih Mendulang Cuan dari Bisnis Bancassurance "Kelebihannya adalah memudahkan para pedagang kecil untuk membayar lebih besar di muka, sehingga kewajiban akan datang menjadi ringan," katanya kepada Kontan, Selasa (23/12/2025). Lebih lanjut, Entjik mengatakan selama ini, skema pembayaran
tadpole berjalan sangat baik. Hal itu dapat dilihat dari komplain masyarakat terhadap skema
tadpole sangat kecil sekali, bahkan cenderung nihil. Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turut angkat bicara mengenai fenomena tersebut. Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Agusman mengatakan OJK telah membatasi praktik pembayaran dengan skema
tadpole yang dilakukan penyelenggara
fintech lending. "Upaya itu dilakukan untuk melindungi konsumen atas praktik pendanaan tidak sehat," ungkapnya dalam lembar jawaban tertulis RDK OJK, Rabu (17/12/2025). OJK menyebut praktik skema pembayaran
tadpole di
fintech lending hanya dapat dilakukan sepanjang mematuhi ketentuan batasan manfaat ekonomi yang berlaku.
Baca Juga: Duit Mengendap di Kartu Uang Eletronik dan Dompet Digital Tembus Rp 15,8 Triliun Selain itu, memenuhi aspek transparansi dengan menyampaikan informasi secara lengkap kepada
borrower maupun
lender untuk memastikan para pihak telah memahami dan menyepakati skema pembayaran angsuran dengan jumlah yang besar pada periode awal (
front-loaded installments/tadpole), serta memenuhi kualitas pendanaan dengan tingkat risiko kredit macet secara agregat atau TWP90 kurang dari 5%. Lebih lanjut, Agusman menyampaikan OJK telah menerapkan langkah mitigasi skema tersebut dengan menetapkan batas maksimum manfaat ekonomi, serta mewajibkan penyelenggara melakukan penilaian kelayakan kredit secara memadai, termasuk memperhatikan
re-payment capacity, debt to income ratio, dan eksposur pendanaan
borrower di penyelenggara lain. "Pengaturan tersebut diharapkan dapat mendorong praktik usaha
fintech lending yang lebih sehat, berkelanjutan, serta sejalan dengan prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen," kata Agusman. Sementara itu, Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah mengatakan banyak
borrower tidak menyadari dampak negatif skema tadpole. Dia bilang berbeda dengan cicilan normal yang dibagi merata setiap bulan, skema
tadpole memaksa
borrower membayar porsi jauh lebih besar di awal.
Baca Juga: CNAF Pacu Penyaluran Kredit di Bulan Terakhir Tahun 2025 Dalam survei wawancara mendalam Segara Institute, sejumlah responden mengaku harus membayar 50%–75% dari total pinjaman pada cicilan pertama, sedangkan 25%–50% kemudian dilunasi melalui cicilan tetap atau makin kecil pada periode berikutnya. Piter menilai skema tersebut dapat meningkatkan tingkat bunga efektif hingga 4–5 kali lipat dibandingkan skema pembayaran normal (
non-tadpole). Meski secara nominal memiliki tingkat bunga yang sama, pola
tadpole berpotensi melanggar ketentuan batas maksimum suku bunga yang ditetapkan OJK. Pada sejumlah kasus, tekanan pembayaran di awal juga diperberat oleh frekuensi cicilan yang lebih sering, sehingga beban
borrower makin tinggi pada tenor awal. “Untuk apa konsumen pindar meminjam dengan tenor enam bulan, kalau dalam satu atau dua bulan sebagian besar pinjaman sudah harus dilunasi?” ujar Piter dalam keterangan resmi, Kamis (18/12/2025). Berdasarkan risetnya, Segara Research Institute menyimpulkan skema pembayaran
tadpole sangat merugikan konsumen dan bertentangan dengan semangat perlindungan konsumen. Oleh karena itu, Piter berpendapat skema itu perlu diatur, bahkan dilarang oleh OJK. Untuk mengatasi dampak negatif dari skema
tadpole, Piter merekomendasikan agar OJK meningkatkan edukasi kepada masyarakat, sekaligus menyusun regulasi yang melarang praktik skema
tadpole. Regulasi tersebut perlu mendefinisikan secara tegas kriteria skema
tadpole, termasuk praktik penarikan
fee dalam porsi besar di awal pinjaman secara tidak transparan.
“Paling utama adalah transparansi, edukasi, dan memastikan kebermanfaatan bagi nasabah,” ucap Piter.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News