Agar bertahan, emiten batubara perlu diversifikasi



JAKARTA. Seperti warna komoditasnya, bisnis batubara pada tahun ini masih mengibarkan bendera hitam. Target produksi batubara nasional sepanjang tahun 2016 hanya 419 juta ton, turun 1,41% ketimbang target tahun lalu.

Harga batubara terus menyusut. Di saat yang sama, negara produsen seperti Australia tetap akan menaikkan produksi batubara.

Bagaimana nasib emiten batubara di Indonesia? Agar bisa bertahan, emiten sebaiknya mendiversifikasi usaha, misalnya ke bisnis pembangkit listrik.


Proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) yang digagas pemerintah bisa mengimbangi rendahnya permintaan.

Satrio Utomo, Kepala Riset Universal Broker Indonesia, menyebutkan, harga batubara sudah anjlok 70%. "Butuh waktu lama agar bisa kembali ke level US$ 70-US$ 80 per ton," tutur dia.

Harga batubara Newcastle di bursa ICE, Selasa (9/2), di US$ 51,10 per ton. Satrio menilai, harga jual listrik jauh lebih menguntungkan daripada batubara. Jadi, bisnis pembangkit listrik dapat menjadi alternatif diversifikasi bagi emiten batubara.

Di saat yang sama, asalkan proyek pembangkit listrik ini berjalan sesuai rencana, maka dampaknya akan bagus bagi emiten batubara. "Batubaranya bisa dipakai untuk pembangkit listrik, kemudian dijual ke PLN," ungkap Fadli, analis Net Sekuritas.

Saat ini, bisnis batubara dalam fase sunset. Menurut analis First Asia Capital David Sutyanto, jika sebuah industri dalam masa sunset, memerlukan inovasi. Jika tidak, industri itu akan ambruk.

"Inovasi yang paling masuk akal bagi emiten batubara adalah bisnis pembangkit listrik," kata dia.

Proyek pembangkit akan mengerek prospek emiten batubara yang sudah mendiversifikasi bisnisnya. Adaro Energy (ADRO) dan Bukit Asam (PTBA) telah memulai diversifikasi itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie