JAKARTA. Salah satu kelemahan aturan devisa hasil ekspor (DHE) terletak pada ketidakmampuannya menahan valas milik eksportir. Aturan Bank Indonesia (BI) yang efektif Januari 2012 itu membolehkan DHE hanya mampir di bank domestik, lalu pergi lagi, karena tak ingin menabrak pakem rezim devisa bebas yang dianut negara ini. Untuk menyiasati keadaan itu, BI akan mengeluarkan aturan main mengenai
trustee atau wali amanat yang mengelola devisa milik eksportir. Di luar negeri, Trustee Bank biasanya diperankan oleh bank-bank investasi. Gubernur BI, Darmin Nasution mengatakan, ide ini muncul setelah BI berdiskusi dengan pengusaha minyak bumi dan gas (migas). Pada pertemuan itu, BI meminta eksportir migas untuk mengendapkan valas hasil ekspornya di bank domestik. "Mereka bilang jangan, dong. Mereka memilih menaruh uang di Trustee Bank di luar negeri karena duitnya dikembangbiakkan," katanya, Rabu (23/5).
Darmin menilai, keengganan eksportir itu hal wajar sebab perbankan Indonesia tidak punya outlet yang sesuai untuk menampung dana eksportir. "Ini harus didorong agar
supply dan
demand valas berubah. Saat ini kami sedang mengkaji Undang-Undang perbankan dan mencari payung hukumnya," katanya. Pembentukan
trustee di dalam negeri untuk memperdalam pasar keuangan dan menjaga suplai valas. Dengan ketersediaan valas, rupiah tidak rentan dan tidak mudah menjadi spekulasi. Kepala Divisi Internasional Bank BNI, Abdullah Firman Wibowo mengatakan, aturan main
trustee di Indonesia sudah mendesak. Sebab produk bank yang tersedia saat ini tidak cukup memenuhi keinginan eksportir. Perbankan hanya menawarkan deposito, tabungan dan giro dengan
yield rendah. "Setelah masuk ke bank domestik, eksportir akan mengalihkan lagi dananya ke bank asing yang menawarkan return tinggi melalui produk-produk investasi," ujarnya. Mengembangkan bisnis trustee tidak bisa cepat. Pasalnya, bank membutuhkan infrastuktur, teknologi, sumber daya manusia (SDM) yang kompeten dan berintegritas, iklim investasi dan produk yang bagus. Instrumen yang ditawarkan biasanya produk pasar modal berbalut produk bank. "Kalau pasar tidak stabil akan menjadi masalah karena
return menurun. Edukasi juga penting agar invesment produk menjadi familiar dan diminati," kata Abdullah. Dari sisi pelaku ekspor, pemerintah perlu mengembangkan ekspor manufaktur. Pasalnya, eksportir manufaktur cenderung mengendapkan valas mereka lebih lama untuk membiayai produksi barang jadi. Hal ini berbeda dengan eksportir komoditas primer atau bahan baku. Eksportir tipe ini tidak akan mengendapkan valas dalam waktu lama karena tidak memerlukan proses produksi lagi. Abdullah menambahkan, bila ingin menerbitkan aturan
trustee, BI juga harus menyiapkan lagi aturan yang mengatur produk derivatif. Aturan ini untuk mencegah spekulan mengganggu stabilitas ekonomi. "Aturan ini bagus. Aturan ini tidak melarang bank untuk menawarkan produk derivatif. Bank hanya meningkatkan kehati-hatian," tukasnya. Instrumen hedging mendesak Selain menyiapkan trustee, di jangka pendek, Bank Indonesia (BI) juga perlu membentuk
forward market (pasar berjangka). Tujuannya sama seperti
trustee, meningkatkan suplai valas di dalam negeri agar rupiah tidak gampang dijadikan spekulasi. Direktur Humas BI, Difi Ahmad Johansyah mengatakan, pembentukan instrumen
hedging valas sebenarnya sudah berjalan tetapi lambat. Pasalnya, BI harus melibatkan pihak lain seperti otoritas pasar modal. "Pengembangannya tidak hanya area BI. Disamping itu prinsip akunting di Indonesia juga harus mendorong pengembangan pasar instrumen seperti
forward dan lain-lain," ujarnya, Jumat (25/5).
Difi menjelaskan, pengembangan
forward market butuh likuiditas valas dalam jumlah besar. Sementara valas akan datang sendiri bila banyak instrumen
hedging. "
Outlet khusus dibutuhkan agar valas betah di Indonesia, kayak di Singapura," tambahnya. Menurut Destry Damayanti, Kepala Ekonom Bank Mandiri, sekarang saat yang tepat membentuk
forward market. Mumpung likuiditas dollar Amerika Serikat (AS) meningkat, imbas kebijakan devisa ekspor. "Kalau tidak ada
hedging di dalam negeri tentu mereka akan cari keluar seperti NDF di Singapura," ujarnya. Kepala Divisi Internasional Bank BN Abdullah Firman Wibowo mengataka instrumen valas dan
hedging perlu dibentuk demi stabilitas perekonomian. Tetapi, agar pasar ini bisa berkembang, butuh waktu panjang. "Perlu sosialisasi kepada masyarakat mengenai produk-produk dan kegunaan untuk mendorong permintaan, bila permintaan sedikit maka bank malas menawarkan produk ini karena biayanya pasti tinggi," ujarnya. n Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: