KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, Pemerintah sudah menyalakan lampu hijau untuk kerjasama penggunaan spektrum radio pada teknologi baru. Ini kabar gembira bagi operator telekomunikasi. Tapi masih ada beberapa hal yang mengganjal. Direktur dan Chief Technology Officer XL Axiata, I Gede Darmayusa, mengakui ketersediaan frekuensi dan regulasi masih menjadi tantangan dalam menggelar jaringan 5G. Teknologi generasi ke 5 ini memiliki karakteristik berbeda dengan 4G. “5G membutuhkan investasi yang besar dan 'haus' akan bandwidth.,” ujarnya, Rabu (23/12). Sementara Riant Nugroho, Direktur Rumah Reformasi Kebijakan. jika masyarakat Indonesia ingin mendapatkan true 5G, setiap operator membutuhkan bandwidth minimal 100 Mhz dan contiguous. Permasalahannya, saat ini tidak tersedia spektrum frekuensi 100 MHz yang bersifat contiguous. Kecuali di frekuensi 2.600 Mhz. “Seluruh sumberdaya frekuensi yang ada harus dioptimalkan untuk mendukung penerapan teknologi baru guna mendukung transformasi digital,” terang Riant. Riant menyoroti adanya pengaturan di Rancangan Peraturan Pemerintaj (RPP) Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran yang membatasi cakupan spectrum sharing untuk penerapan teknologi baru. Menurutnya beleid itu seharusnya juga membolehkan spectrum sharing untuk penerapan teknologi baru yang dilakukan di seluruh wilayah layanan dan seluruh pita yang tercantum di Izin Pita Frekuensi Radio. Menurutnya jika tidak boleh di seluruh wilayah dan di seluruh pita frkuiensi radio, skala keekonomian tidak akan tercapai. “Yang dapat menikmati layanan 5G hanya masyarakat di sebagian wilayah. Dan yang harus diingat 5G itu memerlukan investasi yang besar. Kalau seperti ini, dapat dipastikan penggelaran 5G tidak akan optimal,” jelas Riant.
Agar efisien, pemerintah harus lakukan spectrum sharing 5G secara nasional
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, Pemerintah sudah menyalakan lampu hijau untuk kerjasama penggunaan spektrum radio pada teknologi baru. Ini kabar gembira bagi operator telekomunikasi. Tapi masih ada beberapa hal yang mengganjal. Direktur dan Chief Technology Officer XL Axiata, I Gede Darmayusa, mengakui ketersediaan frekuensi dan regulasi masih menjadi tantangan dalam menggelar jaringan 5G. Teknologi generasi ke 5 ini memiliki karakteristik berbeda dengan 4G. “5G membutuhkan investasi yang besar dan 'haus' akan bandwidth.,” ujarnya, Rabu (23/12). Sementara Riant Nugroho, Direktur Rumah Reformasi Kebijakan. jika masyarakat Indonesia ingin mendapatkan true 5G, setiap operator membutuhkan bandwidth minimal 100 Mhz dan contiguous. Permasalahannya, saat ini tidak tersedia spektrum frekuensi 100 MHz yang bersifat contiguous. Kecuali di frekuensi 2.600 Mhz. “Seluruh sumberdaya frekuensi yang ada harus dioptimalkan untuk mendukung penerapan teknologi baru guna mendukung transformasi digital,” terang Riant. Riant menyoroti adanya pengaturan di Rancangan Peraturan Pemerintaj (RPP) Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran yang membatasi cakupan spectrum sharing untuk penerapan teknologi baru. Menurutnya beleid itu seharusnya juga membolehkan spectrum sharing untuk penerapan teknologi baru yang dilakukan di seluruh wilayah layanan dan seluruh pita yang tercantum di Izin Pita Frekuensi Radio. Menurutnya jika tidak boleh di seluruh wilayah dan di seluruh pita frkuiensi radio, skala keekonomian tidak akan tercapai. “Yang dapat menikmati layanan 5G hanya masyarakat di sebagian wilayah. Dan yang harus diingat 5G itu memerlukan investasi yang besar. Kalau seperti ini, dapat dipastikan penggelaran 5G tidak akan optimal,” jelas Riant.