JAKARTA. Setelah The Fed merilis hasil FOMC bahwa kenaikan suku bunga masih akan ditunda dan berpeluang mundur hingga awal tahun 2016, rupiah mendapatkan kekuatannya. Namun analis menduga butuh dukungan data domestik yang lebih stabil dan positif agar posisi rupiah bisa bertahan menguat lebih lama. Di pasar spot, Kamis (18/6) nilai tukar rupiah dihadapan USD menguat 0,30% ke level Rp 13.307 dibanding hari sebelumnya. Namun dalam sepekan terakhir harga sudah tergerus sebesar 0,11% dan bahkan lebih buruknya sejak awal tahun 2015 (year to date), rupiah sudah melemah 6,07%. Tidak jauh berbeda dengan keadaan di kurs tengah Bank Indonesia, posisi rupiah Kamis (18/6) menguat tipis 0,19% ke level Rp 13.341 dibanding hari sebelumnya. Nilai rupiah dalam sepekan terakhir telah merosot 0,36% dan sejak awal tahun telah turun 6,95%. Walaupun di tengah perdagangan Jumat (19/6) rupiah kembali mendapatkan tekanannya. Di pasar spot rupiah turun 0,06% ke level Rp 13.315. Sedangkan di kurs tengah Bank Indonesia masih melanjutkan penguatannya sebesar 0,12% di level Rp 13.324. Ariston Tjendra, Senior Research and Analyst PT Monex Investindo Futures menilai bahwa kenaikan yang terjadi Kamis (18/6) lebih karena koreksinya index USD pasca pertemuan FOMC Selasa (16/6) dan Rabu (17/6) lalu. Keputusan The Fed untuk menahan diri menaikkan suku bunganya di September 2015 dan memundurkannya menjadi Desember 2015 atau awal tahun 2016, memunculkan pesimisme pasar. Apalagi secara resmi The Fed mengendurkan persentase kenaikan suku bunganya di tahun 2016 menjadi 1,625% dari sebelumnya pada prediksi yang dilakukan Maret 2015 naik 1,875%. Begitu juga di tahun 2017 proyeksi persentase pun dipangkas dari sebelumnya 3,125% menjadi 2,875%. Pesimisme ini menjadi angin segar bagi pergerakan rupiah. Walaupun memang Ariston kembali mengingatkan bahwa rupiah tidak bisa terus hanya mengikuti pergerakan USD. Perlu genjotan kinerja dari perekonomian Indonesia agar ada katalis pendorong dari domestik yang bisa menghindari rupiah dari kejatuhan. Bahwa jika pada kuartal dua, tiga dan empat nantinya data domestik membaik rupiah tentu mendapat tenaga. Sebut saja membaiknya GDP, turunnya tingkat inflasi serta positifnya data neraca perdagangan. “Itu baru bisa tercapai jika kinerja dan belanja pemerintah positif,” jelas Ariston. Jika hal tersebut mampu dilakukan pemerintah, Ariston optimis rupiah bisa kembali ke kisaran level Rp 13.000 – Rp 13.200 di akhir tahun 2015. Hal ini karena tekanan global sangat besar saat ini. Tidak hanya soal AS tapi juga permasalahan Yunani dan Eropa yang tidak kunjung usai. “Hanya gebrakan internal yang bisa memberikan harapan pada rupiah jangan sampai terus terpuruk,” kata Ariston. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Agar kuat, rupiah perlu dorongan ekonomi domestik
JAKARTA. Setelah The Fed merilis hasil FOMC bahwa kenaikan suku bunga masih akan ditunda dan berpeluang mundur hingga awal tahun 2016, rupiah mendapatkan kekuatannya. Namun analis menduga butuh dukungan data domestik yang lebih stabil dan positif agar posisi rupiah bisa bertahan menguat lebih lama. Di pasar spot, Kamis (18/6) nilai tukar rupiah dihadapan USD menguat 0,30% ke level Rp 13.307 dibanding hari sebelumnya. Namun dalam sepekan terakhir harga sudah tergerus sebesar 0,11% dan bahkan lebih buruknya sejak awal tahun 2015 (year to date), rupiah sudah melemah 6,07%. Tidak jauh berbeda dengan keadaan di kurs tengah Bank Indonesia, posisi rupiah Kamis (18/6) menguat tipis 0,19% ke level Rp 13.341 dibanding hari sebelumnya. Nilai rupiah dalam sepekan terakhir telah merosot 0,36% dan sejak awal tahun telah turun 6,95%. Walaupun di tengah perdagangan Jumat (19/6) rupiah kembali mendapatkan tekanannya. Di pasar spot rupiah turun 0,06% ke level Rp 13.315. Sedangkan di kurs tengah Bank Indonesia masih melanjutkan penguatannya sebesar 0,12% di level Rp 13.324. Ariston Tjendra, Senior Research and Analyst PT Monex Investindo Futures menilai bahwa kenaikan yang terjadi Kamis (18/6) lebih karena koreksinya index USD pasca pertemuan FOMC Selasa (16/6) dan Rabu (17/6) lalu. Keputusan The Fed untuk menahan diri menaikkan suku bunganya di September 2015 dan memundurkannya menjadi Desember 2015 atau awal tahun 2016, memunculkan pesimisme pasar. Apalagi secara resmi The Fed mengendurkan persentase kenaikan suku bunganya di tahun 2016 menjadi 1,625% dari sebelumnya pada prediksi yang dilakukan Maret 2015 naik 1,875%. Begitu juga di tahun 2017 proyeksi persentase pun dipangkas dari sebelumnya 3,125% menjadi 2,875%. Pesimisme ini menjadi angin segar bagi pergerakan rupiah. Walaupun memang Ariston kembali mengingatkan bahwa rupiah tidak bisa terus hanya mengikuti pergerakan USD. Perlu genjotan kinerja dari perekonomian Indonesia agar ada katalis pendorong dari domestik yang bisa menghindari rupiah dari kejatuhan. Bahwa jika pada kuartal dua, tiga dan empat nantinya data domestik membaik rupiah tentu mendapat tenaga. Sebut saja membaiknya GDP, turunnya tingkat inflasi serta positifnya data neraca perdagangan. “Itu baru bisa tercapai jika kinerja dan belanja pemerintah positif,” jelas Ariston. Jika hal tersebut mampu dilakukan pemerintah, Ariston optimis rupiah bisa kembali ke kisaran level Rp 13.000 – Rp 13.200 di akhir tahun 2015. Hal ini karena tekanan global sangat besar saat ini. Tidak hanya soal AS tapi juga permasalahan Yunani dan Eropa yang tidak kunjung usai. “Hanya gebrakan internal yang bisa memberikan harapan pada rupiah jangan sampai terus terpuruk,” kata Ariston. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News