Gatot Suwondo prihatin terhadap para pengusaha yang masih belum mencintai mata uang rupiah. Direktur Utama Bank BNI ini bilang, sampai sekarang, pembayaran sewa gedung kantor masih menggunakan mata uang dollar Amerika Serikat (AS). Tak cuma itu, sewa apartemen di Jakarta juga menggunakan dollar AS. Bukan cuma sebagai harga acuan, lo. Tapi, pembayaran juga harus menggunakan mata uang dollar. “Yang paling sedih lagi, pembelian batubara di dalam negeri untuk suplai pembangkit listrik di dalam negeri juga pakai dollar,” keluh Gatot. Penggunaan mata uang dollar untuk transaksi di dalam negeri sejatinya bukan rahasia lagi. Transaksi dalam dollar AS di dalam negeri jelas mengakibatkan permintaan dollar yang sebetulnya tidak perlu. Ujung-ujungnya, saat kebutuhan dollar meningkat, nilai tukar rupiah bisa melemah.
Kali ini, pemerintah tampaknya tak mau menutup mata. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, mengatakan, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang (UU) Mata uang yang yang mewajibkan transaksi dalam negeri menggunakan rupiah. Namun, masih banyak transaksi di dalam negeri menggunakan dollar. “Ini yang menyulitkan pemerintah mengendalikan permintaan terhadap dollar,” kata Bambang. Sebetulnya, pemerintah tidak masalah jika penggunaan dollar hanya sebagai harga acuan. Sementara, transaksi tetap menggunakan rupiah. Karena itu, untuk mendisiplinkan transaksi dollar di dalam negeri, pemerintah berniat membentuk tim gabungan yang memiliki beranggotakan perwakilan dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan lembaga penegak hukum. Tugas tim ini mengawasi pelaksanaan UU Mata Uang. Tim juga bertugas memberikan sosialisasi kepada masyarakat agar menggunakan rupiah dalam setiap transaksi di dalam negeri. Nah, salah satu upaya konkret dari tim tersebut adalah membentuk layanan aduan yang berfungsi menerima aduan dari masyarakat yang mengetahui adanya transaksi yang menggunakan valuta asing (valas) di dalam negeri. Selain mengendalikan permintaan, pemerintah juga akan memperbaiki pasokan valas. Untuk itu, pemerintah berharap pada penerapan kewajiban penggunaan letter of credit (LC) untuk komoditas ekspor mineral, kelapa sawit, batubara, dan minyak dan gas. Bambang bilang, penerapan wajib L/C pada April mendatang bisa menambah setoran devisa hasil ekspor (DHE). Alhasil, tambahan devisa bisa menjadi bekal untuk memperkuat nilai tukar rupiah. Namun, mengatur suplai dan permintaan saja tidak cukup untuk memperkuat otot mata uang garuda. Sebab, selama transaksi berjalan masih defisit, nilai tukar rupiah susah menguat. “Defisit transaksi berjalan mencerminkan permintaan dollar yang tinggi,” ujar Lana Soelistianingsih, pengamat ekonomi Universitas Indonesia. Sejak kuartal IV 2011, transaksi berjalan Indonesia selalu tercatat defisit. Akhir 2014 lalu, rasio defisit transaksi berjalan produk domestik bruto (PDB) tercatat sebesar 2,95%. Nah, defisit transaksi berjalan tahun ini berpotensi membengkak lantaran pemerintah mengalokasikan anggaran sangat besar untuk membangun infrastruktur. Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, sekitar 60%-70% komponen belanja infrastruktur merupakan barang impor. Jika pembangunan infrastruktur didorong terlalu masif, kinerja impor akan langsung meningkat sehingga defisit bisa melompat. Chatib khawatir, dana asing akan keluar dari Indonesia. Akibatnya, bisa diperkirakan, nilai tukar rupiah akan lunglai. “Kejadian tahun 2013 lalu akan terulang, saat defisit transaksi berjalan membesar, investor keluar,” kata Chatib. Menekan defisit Namun, Bambang memastikan, pemerintah akan menjaga defisit transaksi berjalan di kisaran 3%. Toh, defisit yang terjadi lebih diakibatkan kegiatan yang produktif. Dalam jangka panjang, peningkatan belanja infrastruktur akan meningkatkan daya saing ekonomi dan memberikan kontribusi bagi perbaikan transaksi berjalan. Pemerintah juga sudah menyiapkan langkah untuk memperbaiki transaksi berjalan. Untuk memperbaiki neraca barang, pemerintah akan merilis aturan yang memungkinkan dikenakannya bea masuk anti dumping sementara dan bea masuk tindakan pengamanan sementara. Selain itu, pemerintah akan merevisi aturan tax allowance bagi perusahaan yang mengekspor minimal 30% dari total produk demi mendorong peningkatan investasi langsung. “Pemerintah juga akan meningkatkan penggunaan biodiesel,” kata Bambang. Fasilitas tax allowance juga akan diberikan untuk dividen yang direinvestasi di dalam negeri. Insentif fiskal ini guna mengurangi defisit neraca pendapatan yang selama ini cukup besar (lihat infografik). Untuk mengurangi defisit neraca jasa, pemerintah akan membentuk perusahaan BUMN di bidang reasuransi. Selain itu, pemerintah juga akan membebaskan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk industri galangan kapal. Lana menilai, meski pemerintah menawarkan insentif fiskal berupa tax allowance, perusahaan belum tentu mau memanfaatkannya. “Pengalaman tahun 2013 lalu, tidak banyak perusahaan memanfaatkan karena khawatir bisa menjadi bumerang bagi perusahaan dalam urusan pajak,” kata Lana. Lana mengusulkan, pemerintah memperbaiki sektor pariwisata untuk mendongkrak neraca jasa. Jika dipoles degan baik, sektor pariwisata bisa membantu mengurangi defisit transaksi berjalan. Yang paling penting, pemerintah harus mulai memperbaiki struktur ekonomi Indonesia yang sudah rapuh. “Harus ada insentif dan orientasi jelas untuk membangun industri bahan baku dan barang modal,” kata Lana.
Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa, mengatakan, pemerintah harus mengembalikan kepercayaan pasar. Untuk itu, pemerintah perlu menempatkan duit yang selama ini disimpan di BI ke sistem perbankan. Dengan begitu, kondisi likuiditas di Tanah Air lebih bagus. “Biar pasar tidak khawatir akan terjadi krisis karena likuiditas ketat,” kata Purbaya. Yang jelas, jangan sampai rupiah makin dilecehkan. Laporan Utama Kontan No. 25-XIX, 2015 Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi