Agar tak defisit, kredit pengolahan harus digenjot



JAKARTA. Pengamat ekonomi Aviliani mengatakan defisit neraca transaksi berjalan yang dialami Indonesia disebabkan nilai impor yang lebih besar dari nilai ekspor. Rendahnya nilai ekspor Indonesia tersebut salah satunya disebabkan belum maksimalnya penyaluran kredit perbankan bagi industri pengolahan.

Menurut Aviliani, selama ini ekspor Indonesia lebih banyak ke komoditas bahan mentah seperti kelapa sawit dan hasil pertambangan. Ini menyebabkan nilai ekspor Indonesia menjadi rendah. “Kondisi ini salah satunya disebabkan pembiayaan perbankan untuk industri pengolahan belum maksimal,” kata Aviliani di Jakarta, Senin (1/12).

Kedepan, wanita yang juga sebagai Komisaris Bank Mandiri ini menghimbau pemerintah memberikan sejumlah insentif bagi industri pengolahan. Sehingga industri pengolahan akan dipandang lebih menjanjikan. “Ini akan membuat perbankan lebih maksimal dalam menyalurkan kredit untuk industri pengolahan,” pungkas Aviliani.


Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per September 2014, jumlah kredit yang dikucurkan Bank Umum untuk industri pengolahan adalah sebesar Rp 629,82 triliun. Jumlah tersebut baru 18,45% dari total kredit Bank Umum yang mencapai Rp 3.413,55 triliun.

Kondisi ini tak berbeda jauh dibanding pada bulan September 2013. Kala itu, jumlah kredit yang dikucurkan bank umum untuk industri pengolahan Rp 542,60 triliun atau hanya 17,94% dibanding total kredit bank umum.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan