Jika sekarang banyak masyarakat berinvestasi saham, emas, dan properti, Ahsan Rusidi lebih suka menanam jati. Setelah hampir 10 tahun menanam kayu jati, ia bisa mengantongi laba hingga miliaran rupiah. Padahal, modal awalnya pas-pasan.Tanah surga yang disebut-sebut Koes Plus dalam lagu Kolam Susu dibuktikan oleh Ahsan Rusidi lewat tanaman jati. Bibit jati yang ia tanam telah sukses membesarkan PT Mahesa Alam Semesta, perusahaan perkebunan jati rakyat milik Ahsan yang menawarkan investasi jati ke masyarakat.Tekad Ahsan membangun perkebunan dimulai sejak 1999. Ia menabung tanah sepetak demi sepetak hingga total mencapai 200 hektare (ha) di 2001. Lahan 30 ha telah menghasilkan sekitar 9.000 kubik kayu jati dan sudah dipanen di 2006. Dengan harga per kubik log kayu berdiameter besar yang mencapai Rp 7 juta, laba kotor yang diraup Mahesa mencapai Rp 13,5 miliar. Ahsan juga telah berhasil menggaet 50 investor untuk mengelola lahan 500 ha. Sementara, dana hasil panen terus ia belikan tanah hingga saat ini total lahan yang ia miliki mencapai 2.500 hektare. Tidak banyak yang tahu bahwa di masa lalu pemilik perusahaan yang menjadi pemasok bagi Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) ini hanya seorang kuli dan kurir kartu ponsel. Perubahan hidup pria kelahiran Jember, Jawa Timur, ini dimulai saat ia merantau ke Jakarta tahun 1997. Bermodalkan ijazah Madrasah Aliyah (SMA) dan keinginan mengubah nasib, ia pergi ke ibukota sendirian dengan modal Rp 65.000. Ahsan tidak memiliki sanak saudara. Tapi, untung anak ketiga dari empat bersaudara ini bertemu kawan lamanya yang bekerja sebagai kuli bangunan di hotel. Ia pun diajak bekerja menjadi kuli. Namun, pekerjaan ini hanya dilakoninya tiga jam saja karena sang mandor memecatnya. Sang mandor tidak menyukai sikap Ahsan yang tersinggung atas tindakannya. “Saya ditendang,” katanya. Berhenti menjadi kuli, kehidupan Ahsan di Ibukota suram. Namun ia pantang pulang jika belum sukses. Ayah dua anak ini bertahan hidup di emperan halte di daerah Kuningan dengan berjualan rokok dan jadi tukang tambal ban. Lagi-lagi, putra seorang kiai ini mendapatkan keberuntungan. “Saya ditawari bekerja sebagai kurir kartu perdana ponsel,” katanya. Pekerjaan inilah yang berhasil mengasah bakat terpendam Ahsan menjadi seorang pebisnis yang cerdik. Sempat bangkrutSaat awal menjadi kurir, Ahsan mencermati betapa lakunya kartu perdana. Karena melihat pasokan dan permintaan yang tidak imbang, Ahsan mulai memutar otak agar bisnis yang dijalankan perusahaan distributor kartu terbesar salah satu operator seluler tempat ia bekerja untung lebih besar. “Semua kartu dibeli dan disimpan sehingga pasokan berkurang, ketika permintaan naik kita bisa mainkan harganya,” katanya.Dengan restu atasan, ia berhasil membuat harga kartu perdana yang semula hanya Rp 110.000 meroket hingga empat kali lipat hanya dalam 7 hari. Karena idenya ini, Ahsan pun dihadiahi bonus Rp 300 juta.Bonus itu ia belikan mobil dan beberapa aset properti lainnya seperti sawah dan tanah. Setelah 2 bulan menjadi kurir, dengan berbekal bonus itu, ia membuka beberapa kios penjualan voucer dan kartu telepon. Usaha ini tak berjalan lama, ia bangkrut. “Saya terlalu percaya kepada orang,” katanya. Kebangkrutan tidak membuatnya putus asa. Demi cita-cita memberangkatkan orangtuanya ke Tanah Suci, Ahsan mencari peluang bisnis lain yang paling ia kenal. “Saya, kan, orang kampung, tahunya kayu bisa dijual,” katanya. Sang Prabu, begitu ia biasa dipanggil, mulai melakoni bisnis jual-beli kayu. Kebetulan orangtuanya punya lahan sekitar 0,5 hektare yang ditanami jati. Di Jawa Timur juga banyak kebun jati dan kayu mebel lain. Di pihak lain, ia memiliki banyak kenalan orang yang berbisnis kayu di Kalimantan. Ahsan menekuni bisnis jual-beli kayu selama empat tahun. Bisnis ini lancar, sehingga ia berhasil mengantongi untung bersih hingga Rp 1 miliar per bulan.Tapi, bisnisnya terganggu ketika kasus illegal logging meruak. “Semakin susah mendapatkan kayu, usaha ini kami tutup,” katanya. Dari bisnis jual beli kayu, kemudian ia tertarik untuk menanam sendiri jati. Ahsan memilih jati karena kayu ini relatif mudah dipasarkan dan harganya mahal. “Jati adalah investasi untung dan aman,” katanya. Ia juga sempat mempelajari cara-cara pembibitan jati dengan PT Setia Mitra. “Batang yang kita jual harus cepat besar dan sehat. Itu dihasilkan dari proses pembibitan yang baik dengan setek pucuk,” katanya. Dengan cara inilah ia menanami lahan miliknya. Hingga saat ini, ia terus menambah lahan. Lahan kritis menjadi sasaran sang Prabu. Selain cocok untuk jati, dengan memilih lahan ini, ia ingin menghijaukan negeri dan memakmurkan masyarakat sekitar. Tahun 2007, ia membangun PT Mahesa Alam Semesta dan membuka peluang investasi jati ke masyarakat. “Saya akan menambah 11.000 ha lagi, terutama di lahan kritis,” katanya.Pada tahun ini, Ahsan berhasil mendapat pinjaman modal dari pemerintah untuk lahan 2.000 ha.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Ahsan, mantan kuli yang sukses memanen rezeki kebun jati
Jika sekarang banyak masyarakat berinvestasi saham, emas, dan properti, Ahsan Rusidi lebih suka menanam jati. Setelah hampir 10 tahun menanam kayu jati, ia bisa mengantongi laba hingga miliaran rupiah. Padahal, modal awalnya pas-pasan.Tanah surga yang disebut-sebut Koes Plus dalam lagu Kolam Susu dibuktikan oleh Ahsan Rusidi lewat tanaman jati. Bibit jati yang ia tanam telah sukses membesarkan PT Mahesa Alam Semesta, perusahaan perkebunan jati rakyat milik Ahsan yang menawarkan investasi jati ke masyarakat.Tekad Ahsan membangun perkebunan dimulai sejak 1999. Ia menabung tanah sepetak demi sepetak hingga total mencapai 200 hektare (ha) di 2001. Lahan 30 ha telah menghasilkan sekitar 9.000 kubik kayu jati dan sudah dipanen di 2006. Dengan harga per kubik log kayu berdiameter besar yang mencapai Rp 7 juta, laba kotor yang diraup Mahesa mencapai Rp 13,5 miliar. Ahsan juga telah berhasil menggaet 50 investor untuk mengelola lahan 500 ha. Sementara, dana hasil panen terus ia belikan tanah hingga saat ini total lahan yang ia miliki mencapai 2.500 hektare. Tidak banyak yang tahu bahwa di masa lalu pemilik perusahaan yang menjadi pemasok bagi Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) ini hanya seorang kuli dan kurir kartu ponsel. Perubahan hidup pria kelahiran Jember, Jawa Timur, ini dimulai saat ia merantau ke Jakarta tahun 1997. Bermodalkan ijazah Madrasah Aliyah (SMA) dan keinginan mengubah nasib, ia pergi ke ibukota sendirian dengan modal Rp 65.000. Ahsan tidak memiliki sanak saudara. Tapi, untung anak ketiga dari empat bersaudara ini bertemu kawan lamanya yang bekerja sebagai kuli bangunan di hotel. Ia pun diajak bekerja menjadi kuli. Namun, pekerjaan ini hanya dilakoninya tiga jam saja karena sang mandor memecatnya. Sang mandor tidak menyukai sikap Ahsan yang tersinggung atas tindakannya. “Saya ditendang,” katanya. Berhenti menjadi kuli, kehidupan Ahsan di Ibukota suram. Namun ia pantang pulang jika belum sukses. Ayah dua anak ini bertahan hidup di emperan halte di daerah Kuningan dengan berjualan rokok dan jadi tukang tambal ban. Lagi-lagi, putra seorang kiai ini mendapatkan keberuntungan. “Saya ditawari bekerja sebagai kurir kartu perdana ponsel,” katanya. Pekerjaan inilah yang berhasil mengasah bakat terpendam Ahsan menjadi seorang pebisnis yang cerdik. Sempat bangkrutSaat awal menjadi kurir, Ahsan mencermati betapa lakunya kartu perdana. Karena melihat pasokan dan permintaan yang tidak imbang, Ahsan mulai memutar otak agar bisnis yang dijalankan perusahaan distributor kartu terbesar salah satu operator seluler tempat ia bekerja untung lebih besar. “Semua kartu dibeli dan disimpan sehingga pasokan berkurang, ketika permintaan naik kita bisa mainkan harganya,” katanya.Dengan restu atasan, ia berhasil membuat harga kartu perdana yang semula hanya Rp 110.000 meroket hingga empat kali lipat hanya dalam 7 hari. Karena idenya ini, Ahsan pun dihadiahi bonus Rp 300 juta.Bonus itu ia belikan mobil dan beberapa aset properti lainnya seperti sawah dan tanah. Setelah 2 bulan menjadi kurir, dengan berbekal bonus itu, ia membuka beberapa kios penjualan voucer dan kartu telepon. Usaha ini tak berjalan lama, ia bangkrut. “Saya terlalu percaya kepada orang,” katanya. Kebangkrutan tidak membuatnya putus asa. Demi cita-cita memberangkatkan orangtuanya ke Tanah Suci, Ahsan mencari peluang bisnis lain yang paling ia kenal. “Saya, kan, orang kampung, tahunya kayu bisa dijual,” katanya. Sang Prabu, begitu ia biasa dipanggil, mulai melakoni bisnis jual-beli kayu. Kebetulan orangtuanya punya lahan sekitar 0,5 hektare yang ditanami jati. Di Jawa Timur juga banyak kebun jati dan kayu mebel lain. Di pihak lain, ia memiliki banyak kenalan orang yang berbisnis kayu di Kalimantan. Ahsan menekuni bisnis jual-beli kayu selama empat tahun. Bisnis ini lancar, sehingga ia berhasil mengantongi untung bersih hingga Rp 1 miliar per bulan.Tapi, bisnisnya terganggu ketika kasus illegal logging meruak. “Semakin susah mendapatkan kayu, usaha ini kami tutup,” katanya. Dari bisnis jual beli kayu, kemudian ia tertarik untuk menanam sendiri jati. Ahsan memilih jati karena kayu ini relatif mudah dipasarkan dan harganya mahal. “Jati adalah investasi untung dan aman,” katanya. Ia juga sempat mempelajari cara-cara pembibitan jati dengan PT Setia Mitra. “Batang yang kita jual harus cepat besar dan sehat. Itu dihasilkan dari proses pembibitan yang baik dengan setek pucuk,” katanya. Dengan cara inilah ia menanami lahan miliknya. Hingga saat ini, ia terus menambah lahan. Lahan kritis menjadi sasaran sang Prabu. Selain cocok untuk jati, dengan memilih lahan ini, ia ingin menghijaukan negeri dan memakmurkan masyarakat sekitar. Tahun 2007, ia membangun PT Mahesa Alam Semesta dan membuka peluang investasi jati ke masyarakat. “Saya akan menambah 11.000 ha lagi, terutama di lahan kritis,” katanya.Pada tahun ini, Ahsan berhasil mendapat pinjaman modal dari pemerintah untuk lahan 2.000 ha.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News