KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Langkah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang akan mengawasi kemitraan inti-plasma yang terjadi di perkebunan kelapa sawit mendapat sorotan. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Prof Dr Ningrum Natasya Sirait SH, mengatakan, KPPU tidak berwenang melakukan pengawasan terhadap praktik kemitraan di sektor manapun, termasuk di antaranya kemitraan di perkebunan kelapa sawit. "Sebab, dasar hukum yang digunakan oleh KPPU untuk melakukan pengawasan kemitraan sangat lemah," kata Ningrum dalam keterangan persnya, Senin (27/5).
Menurut Ningrum, dasar hukum KPPU bisa melakukan pengawasan adalah UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam UU ini, memerintahkan KPPU untuk mengawasi persaingan usaha antara pelaku usaha dengan pelaku usaha atau antara
business to business. Dalam UU No 5 Tahun 1999 tidak diatur sama sekali soal kemitraan. Soal kemitraan ini diatur dalam UU No 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Dalam beleid tersebut ada kata tentang persaingan. Nah, kata persaingan ini ditafsirkan dalam PP No 17/2013 yang merupakan aturan pelaksanaan UU No. 20/2008, bahwa yang berwenang mengawasi adalah KPPU. Jadi karena ada kata persaingan, maka ditafsirkan bahwa soal pengawasan persaingan dan pengawasan kemitraan itu menjadi kewenangan KPPU. Tidak sampai di situ, bahkan dalam PP tersebut juga memberikan kewenangan KPPU untuk mengatur, memaknai pengawasan kemitraan itu melalui peraturan komisi (perkom) KPPU. Menurut Ningrum, KPPU tidak diberikan kewenangan membentuk peraturan. Dalam pasal 35 huruf F UU No 5/1999, KPPU hanya diberikan kewenangan membuat pedoman dan publikasi. “Perlu diketahui bahwa pedoman dan publikasi itu bukan peraturan,” kata Ningrum. Oleh karena itu, Ningrum menegaskan KPPU dalam menjalankan kewenangan pengawasan sebaiknya dengan jalan pencegahan dan bukan penegakan hukum semata. Menurut Ningrum, KPPU hanya bisa melakukan pengawasan terhadap persaingan usaha yang dilakukan antara pelaku usaha dengan pelaku usaha (
business to business).
“Tetapi kalau KPPU masuk ke ranah kemitraan, sementara dalam UU No 5/1999 tidak ada satu pasal pun yang mengatur soal kemitraan, lantas apa dasar hukumnya?,” katanya. Selama ini KPPU menyatakan PP No 17 Tahun 2013 sebagai dasar hukumnya. “Namun, kalau kita mau buat hirarki dalam perundang-undangan, siapa yang lebih tinggi? PP atau undang-undang?,” tandasnya. Ningrum sangat tidak setuju apabila KPPU mengawasi kemitraan selayaknya dengan memberikan sanksi sebagaimana terjadi pada kasus yang sifatnya persaingan usaha yang dilakukan
business to business. Sebab kemitraan ini sifatnya partnership atau kerja sama. “Kemitraan itu bukan
business to business, itu yang paling penting. Sehingga KPPU tidak bisa menjatuhkan sanksi karena ini bukan persaingan antara yang besar dengan yang kecil,” tegasnya.
Editor: Yudho Winarto