Akademisi Mendesak Proteksi Anak-anak dari Aktivitas Merokok



MOMSMONEY.ID - JAKARTA. Anak muda masih menjadi target pemasaran industri rokok. Loyalitas dari kau muda kerap dimanfaatkan industri rokok hingga mereka menjadi perokok berat dan memberikan keuntungan bagi industri rokok. Informasi ini disampaikan oleh Aryana Satrya, Ketua Umum Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (UI) dalam sebuah webinar yang diselenggarakan pada Selasa (11/6).

Aryana menegaskan, anak muda merupakan segmen pasar yang luas dan terbuka karena mudah terpengaruh oleh hal yang baru, unik, dan menarik, serta selalu mengikuti tren, termasuk rokok. “Berdasarkan riset yang dilakukan, harga rokok dan teman sebaya menjadi dua faktor paling berpengaruh bagi anak muda yang merokok,” kata Aryana.

Bukan isapan jempol. Hasil risetnya itu juga tercermin dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang menemukan adanya peningkatan persentase perokok usia muda (di bawah 18 tahun) dari 7,2% (2013) menjadi 9,1% (2018).  Dari beragam jenis rokok, rokok elektrik kin makin populer dan di Indonesia.


Baca Juga: Otorita IKN dan PT Honeywell Indonesia Sepakati Kerja Sama Pembangunan Smart City

Setiap daerah setidaknya memiliki sepuluh tempat penjualan atau retail rokok elektrik. Yang menjadi masalah, asumsi publik pun berkembang bahwa rokok elektrik memiliki risiko lebih rendah dibandingkan rokok konvensional. Padahal, Aryana menegaskan risiko keduanya sama karena sama-sama mengandung nikotin dan menyebabkan gangguan kesehatan. Bahkan, risiko rokok elektrik dapat lebih tinggi daripada rokok konvensional. 

“Rokok elektrik bukanlah substitusi rokok konvensional, namun sebagian besar pengguna rokok elektrik adalah pengguna rokok konvensional. Dual-user ini memiliki probabilitas mengidap penyakit dan komplikasi lebih tinggi, produktivitas lebih rendah, serta pengeluaran kesehatan lebih tinggi dibandingkan single-user rokok. Dengan demikian, daripada beralih ke rokok elektrik, alternatif terbaik adalah berhenti merokok,” ujar Aryana.

Tak hanya berdampak terhadap kesehatan, konsumsi rokok juga berdampak pada perekonomian. Dalam lingkup rumah tangga, meski peningkatan belanja rokok sebesar 1%, hal itu berpengaruh signifikan pada kondisi ekonomi keluarga. Kenaikan ini dapat meningkatkan risiko kemiskinan hingga 6% dan memperburuk kesejahteraan keluarga yang sudah rentan secara ekonomi.

Ketika anggaran rumah tangga dialokasikan lebih banyak untuk rokok, dana yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan pokok seperti makanan bergizi, pendidikan, dan kesehatan justru terabaikan. Dalam lingkup yang lebih luas, yakni perekonomian negara, beban biaya kesehatan pada penyakit yang disebabkan oleh rokok mencapai 27,7 triliun rupiah setiap tahunnya.

Baca Juga: Simak Tingkat Kurs Dollar-Rupiah di BCA Hari Ini Rabu (12/6) dan Panduan Tukar Valas

Angka ini mencakup biaya perawatan medis untuk berbagai penyakit akibat rokok, termasuk penyakit jantung, kanker paru-paru, dan penyakit pernapasan lainnya. Beban ini tidak hanya merugikan individu dan keluarga, tetapi juga sistem kesehatan nasional yang harus menanggung biaya perawatan, serta kehilangan produktivitas akibat penyakit-penyakit tersebut.

Untuk itu, sebagai upaya penanganan masalah tersebut, Aryana merekomendasikan implementasi kebijakan pengendalian konsumsi rokok MPOWER yang dibuat WHO. M–monitoring tobacco use and prevention policies (memuat kebijakan pencegahan dan pemantauan penggunaan tembakau).

P–protecting people from tobacco smoke (melindungi masyarakat dari rokok). O–offering help to quit tobacco use (menawarkan bantuan untuk berhenti menggunakan produk tembakau). W–warning about the dangers of tobacco (peringatan tentang bahaya produk tembakau). E–enforcing bans on tobacco advertising, promotion, and sponsorship (menegakkan larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok). R–raising taxes on tobacco (menaikkan pajak atas produk tembakau).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri