Akan terbit, kebijakan baru atur utang swasta



JAKARTA. Tren pinjaman luar negeri swasta yang terus meningkat. Kondisi ini bisa berbahaya jika sewaktu-waktu alarm krisis bisa berbunyi. Mengantisipasi hal ini, pemerintah akan mengeluarkan kebijakan untuk mengendalikan utang swasta.Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Brodjonegoro berkata, kebijakan baru itu bakal terbit sebelum akhir tahun ini. Pemerintah akan menggunakan indikator debt service ratio sebagai ukuran utang swasta yang berlebihan.Hanya saja,  kata dia, sejauh ini Indonesia belum memiliki konsep fiskal seperti pengenaan pajak transaksi keuangan dalam jumlah besar yang berasal dari utang maupun investasi lainnya alias tobin tax. Maka, sejauh ini, pemerintah memulainya dengan melengkapi data utang swasta. Menurut Bambang, karena utang swasta di luar otoritas pemerintah, maka selama ini pemerintah tak punya data detil mengenai sektor ini.  Dengan data yang lengkap, maka pemerintah bisa mengambil langkah yang tepat jika terjadi sesuatu.

Meski tidak memperinci kebijakan itu, Bambang mengungkapkan bahwa konsep kebijakan tersebut nantinya hampir sama seperti yang diterapkan dalam kebijakan pemantauan data valuta asing, yaitu melalui kebijakan devisa hasil ekspor (DHE).Sebelumnya, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengungkapkan saat ini rasio utang yang harus dibayar oleh korporasi dibanding rasio pendapatan dari ekspor (debt service coverage) sudah mencapai 30%. Kondisi ini, kata Agus sudah melebihi kondisi wajar.Agus menuturkan Kementerian Keuangan sudah membicarakan fenomena ekses utang luar negeri swasta ini dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). "Kami akan respon dengan kebijakan (policy)," ujarnya.Agus yang juga Ketua FKSSK mengatakan, di akhir tahun ini, FKSSK akan mengeluarkan rekomendasi terkait beberapa isu yang sedang berkembang di dalam negeri termasuk problem peningkatan utang luar negeri swasta.Dalam catatan Bank Indonesia, hingga September 2012 total utang luar negeri swasta mencapai US$ 123,27 miliar. Dari jumlah ini, sebesar US$ 94,09 miliar merupakan utang perusahaan non perbankan dan lembaga keuangan.  Sebelumnya, ekonom BCA David Sumual menuturkan beberapa risiko yang perlu diwaspadai dari utang luar negeri swasta antara lain risiko selisih kurs karena tidak ada lindung nilai (hedging), pinjaman valas untuk membiayai proyek dalam rupiah. Risiko juga timbul akibat perusahaan mencari pinjaman valas jangka pendek untuk membiayai proyek jangka panjang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: