Akankah BI rate naik kembali bulan ini?



JAKARTA. Bank Indonesia (BI) rencananya akan menggelar rapat dewan gubernur (RDG) bulanan tentang tingkat suku bunga acuan atau BI rate, Kamis (9/1) esok. Berikut harapan dan proyeksi sejumlah ekonom dan bankir.  

Ekonom Bank Internasional Indonesia (BII) Juniman memperkirakan, bank sentral akan kembali menaikkan tingkat suku bunga acuannya, 25 basis poin (bps) menjadi 7,75%. 

Menurut Juniman, BI memiliki tiga alasan yang melatarbelakangi kenaikkan BI rate. Pertama, bank sentral mengantisipasi kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve, yang melakukan pengurangan stimulus alias tapering off mulai Januari 2014 ini sebesar US$ 10 miliar menjadi US$ 75 miliar per bulan dari sebelumnya US$ 85 miliar per bulan. 


Pengurangan stimulus yang mengindikasikan penguatan ekonomi AS, bisa menguatkan nilai dollar AS terhadap seluruh mata uang negara lain termasuk rupiah. Hal ini menurut Juniman, cenderung akan membuat nilai tukar rupiah kembali tertekan. 

"Untuk mengurangi dampak depresiasi rupiah, ekspektasinya adalah BI melakukan kenaikan bunga sebesar 25 bps pada RDG esok," ujar Juniman, Rabu (8/1).

Alasan kedua, menurut Juniman, kenaikan BI rate di awal tahun ini adalah untuk mengerem ekspektasi inflasi ke depan. Kenaikan harga liquified petroleum gas (LPG) non subsidi 12 kilogram sebesar Rp 12.000 per tabung tentu mengerek kenaikan inflasi. 

Kenaikan harga elpiji pada awal tahun ini, diyakini diikuti oleh kenaikan harga barang dan jasa. Hal ini tentunya akan mengerek kenaikan inflasi bulan-bulan mendatang tahun 2014 ini.  

Alasan ketiga, karena bank sentral ingin mempercepat penurunan defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Meski neraca perdagangan Indonesia pada November 2013 lalu sempat surplus, namun impor minyak dan gas masih signifikan.  

Nah, hal itu menunjukkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada pertengahan 2013 lalu, tidak mampu menekan tingginya impor migas. "Yang paling krusial adalah BI ingin kepastian percepata CAD turun ke tingkat yang lebih stabil. Kenaikan harga BBM yang tidak efektif untuk tekan impor migas, akhirnya masih memberikan tekanan CAD," jelas Juniman. 

Belum adanya langkah nyata kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah di sektor riil, menurut Juniman, juga turut menyumbang pertimbangan BI menggenapkan kenaikan bunga 200 bps sejak pertengahan tahun lalu.

"BI lagi-lagi harus bekerja sendiri karena pemerintah belum lakukan realisasi kebijakan fiskal yang efektif di lapangan. Namun patut diwaspadai jangan sampai kenaikan BI rate terlalu tinggi, sehingga perlambatan ekonomi terlalu dalam," ujarnya. 

Berbeda, Kepala Ekonom PT Bank Tabungan Negara (BTN) Tbk A. Prasetyantoko justru memproyeksikan bank sentral mempertahankan tingkat suku bunga acuannya kali ini. Sebab, menurutnya, gejolak pasar seperti nilai tukar dan pasar modal mulai bisa dikendalikan.

"BI rate bisa bertahan di level 7,5%, bahkan semester II-2014 sudah mulai bisa diturunkan," ujarnya.

Prasetyantoko bilang, kenaikan harga LPG tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kenaikan inflasi. Sebab, kenaikan harga LPG non subsidi 12 kg terbilang terpantau dan pasokan LPG subsidi 3 kilogram dijamin keberadaannya. 

Menurut Prasetyantoko, kenaikan laju inflasi di Indonesia lebih dikarenakan faktor harga pangan dan ketersediaan pangan. Sedangkan dampak pelemahan rupiah yang belakangan terus terjadi tidak signifikan pengaruhnya terhadap inflasi impor. 

"Asal harga pangan terjaga dan BBM tidak naik, inflasi tidak akan lebih dari 5,5%," kata dia. 

Senada, Presiden Direktur OCBC NISP Parwati Surjaudaja berharap, otoritas moneter tidak akan menaikkan tingkat suku bunga acuan. Ia berharap BI rate dapat tetap dipertahankan di level 7,5%. 

Meski begitu, jika akhirnya bank sentral kembali menaikkan BI rate, bank akan mengikuti arahan tersebut. "Jika BI memutuskan menaikkan BI rate, kami tentu akan mengikuti arahan tersebut dengan menyesuaikan suku bunga," kata Parwati.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia