Akar Masalah Ledakan Tagihan Listrik



KONTAN.CO.ID - Di balik manfaatnya yang besar bagi masyarakat Indonesia, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tampaknya memiliki masalah yang menggunung. Nilai asetnya memang luar biasa mencapai Rp 1.550 triliun, namun utangnya juga besar yakni Rp 680 triliun pada awal semester kedua tahun ini. Laba bersih pada periode sama tercatat Rp 251,61 miliar namun menderita rugi kurs sampai Rp 7,8 triliun.

Beban PLN kian berat karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berutang Rp 38 triliun kepada PLN sebagai kompensasi karena sejak 2017 PLN tidak memberlakukan penyesuaian tarif listrik. Berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM 28/2016, PLN memang diizinkan melakukan penyesuaian tarif setiap tiga bulan dengan kenaikan 30% sampai tarif saat ini menjadi Rp 1.352/kWh. Penyesuaian ini untuk 18,7 juta pelanggan kelompok R1/900 VA, namun tidak dilakukan. Nilai penyesuaian tersebut sudah disimulasikan PLN dan mencapai angka Rp 38 triliun. Inilah yang kini diperjuangkan PLN agar APBN memberikan kompensasi atas tidak diizinkannya melaksanakan penyesuaian tarif tersebut.

Namun yang ingin disampaikan penulis mengenai PLN, bahwa saat masyarakat diimpit pandemi Covid-19, di luar dugaan tagihan listrik ke pelanggan naik dramatikal secara sistematik. Biaya langganan listrik beberapa waktu membuat heboh karena kenaikannya tidak sebanding dengan kenaikan pemakaian listriknya. Tak urung, beban masyarakat pun kian berat.


Kenaikan pemakaian listrik sebetulnya bisa dimaklumi karena meningkatnya aktivitas di rumah, namun persentase kenaikan listrik tidak sebanding dengan kenaikan tagihan bulanan. Penelitian penulis, rata-rata kenaikan pemakaian listrik setiap rumah karena pandemi Covid-19 ini dalam kisaran 30% sampai dengan 45,4% dari pemakaian pada masa normal sebelum Covid-19.

Tagihan listrik membuat terkejut, karena biasanya per bulan berkisar Rp 135.000 sampai Rp 1,5 juta untuk kategori rumah tangga 1 (R1) sampai R3, kini ada yang mencapai minimal Rp 3 juta sampai Rp 70 juta per bulan (Kontan, 11 September 2020). Persoalan ini masih menjadi investigasi PLN dan belum bisa dipublikasikan jawabannya.

Logika yang masuk akal, meledaknya tagihan tersebut pasti berasal dari meteran listrik jenis paska bayar dan tidak mungkin terjadi pada meteran token. Meteran token berlangsung sesuai besaran pulsa yang dibeli, jika tidak dibayar maka dengan sendirinya aliran listrik terputus. Meteran token sama sekali tidak memerlukan petugas pencatat meter listrik. Berbeda dengan meteran jenis paska bayar memang membutuhkan petugas pencatat yang keliling mencatat posisi akhir meteran, jika tidak tepat mencatatnya tentu akan berdampak kepada tagihan.

Apabila rumah terkunci sehingga petugas tidak bisa melihat meteran, maka petugas pencatat meter listrik akan menggunakan angka berbasis rata-rata pemakaian sebelumnya dan menjadi tidak riil. Jika angka pemakaian sedikit maka tagihan akan turut pula kecil, dan kondisi tagihan kecil rata-rata membuat pemilik rumah lengah dan tidak akan pernah pula memeriksa meteran untuk mencocokkan dengan tagihan bulanan yang timbul. Pada saat itu sebetulnya pelanggan diuntungkan karena membayar di bawah pemakaian kWh listrik yang seharusnya.

Tiba saatnya, ketika tarif baru PLN diubah dan dinaikkan, dan kemudian petugas pencatat meteran menemukan kesempatan memeriksa meteran listrik dan kini mencatat dengan benar, maka jadinya tagihan pemakaian listrik menjadi berlipat-lipat karena akumulasi kWh bulan sebelumnya yang tidak dicatat ditambah dengan kenaikan tarif tarif dasar listrik (TDL) PLN, dan dampaknya adalah meledaknya tagihan.

Untuk melacak meledaknya tagihan tersebut sebetulnya mudah karena PLN termasuk sangat sering melakukan kenaikan tarif kendati Oktober nanti akan diturunkan. Hampir setiap tahun tarif TDL memang berubah, sejak 2003 sampai 2019. Persoalannya, jika memang karena ketidakakuratan pencatatan, apakah demikian lama sampai setahun tidak ditemukan sehingga bertepatan dengan kenaikan pada tahun berikutnya, akhirnya menjadi tagihan berganda.

Dengan tarif TDL saat ini Rp 1467,28 per kWh (tarif R1/1300 VA sampai R3/5500 VA sama), simulasi untuk mendapatkan tagihan Rp 70 juta adalah sama halnya dengan pemakaian kWh per bulan sebesar 47.707 kWh. Ini artinya setiap bulan menggunakan kWh sebesar 3.975 kWh dan tidak pernah dicatat dan baru bulan ini dicatat. Untuk pemakaian 3.975 kWh saja sudah besar karena setara dengan pemakaian 16 unit air conditioner (AC) ukuran HP (PK sekitar 350 Watt) non-stop menyala berbarengan 24 jam sehari.

Aktivitas saat ini memang banyak di rumah, namun pemakaian AC yang bijak tentu saja berkisar 8 jam sampai 10 jam per hari saat malam hari dan beberapa jam saat siang hari. Jadi, dengan tagihan kWh mencapai 47.707 kWh menjadi tidak masuk akal, karena setara dengan menggunakan AC minimal 189 unit non-stop dalam sebulan.

Data empiris penelitian penulis, rumah dengan anggota keluarga lima orang, umumnya menggunakan listrik maksimal 1.000 kWh per bulan. Pemakaian sampai 3.975 kWh per bulan tentu saja harus dilihat kondisi rumah, jumlah penghuni dan masih banyak faktor lain, misalnya pemilihan alat-alat listrik yang boros energi, atau untuk keperluan lain.

Tagihan Rp 70 juta sebetulnya tidak masuk akal karena sama artinya dengan meteran listrik tidak pernah dicatat dengan seksama selama 36 bulan atau tiga tahun. Artinya petugas pencatat hanya lewat di depan rumah dan hanya memperkirakan saja selama 3 tahun! Sungguh ini tidak mungkin secara normal, praktis dan secara ilmiah.

Investasi besar AMR

Problem ledakan tagihan listrik sebetulnya bisa dicari akar permasalahannya. Sangat disayangkan jika meteran listrik menjadi kambing hitam sehingga saat ini timbul wacana untuk mengubah total meteran listrik menjadi automatic meter reading (AMR) sebagaimana anjuran Menko Maitim dan Investasi (Kontan, 11 September 2020).

Jika meteran listrik yang harus diubah mencapai 79 juta meteran, maka tidak terbayangkan biaya yang harus dikeluarkan PLN. Yang disayangkan apakah akar permasalahan memang meteran atau faktor lain. Belum lagi PLN juga memerlukan biaya operasi untuk melakukan tera ulang meteran listrik 14,3 juta meteran tahun ini.

Jika melihat kondisi keuangan PLN saat ini, hampir mustahil BUMN ini membuat proyek-proyek baru yang futuristik. Meteran terakhir dengan model pulsa sudah cukup revolusioner menurut pandangan penulis karena ini memangkas tenaga pencatat dan menekan pencurian listrik. Pelanggan di sisi lain juga diuntungkan, tidak diributkan dengan tagihan bulanan.

Mahalnya investasi AMR adalah kebutuhan untuk menarik data pemakaian listrik ke dalam sistem pembaca setiap rumah secara digital ke gardu PLN. Tak terbayang nanti bagaimana semrawutnya kabel tambahan baru tersebut.

Penulis :Effnu Subianto

Dosen dan Peneliti Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Jawa Timur

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti