JAKARTA. Akhirnya, Rancangan Undang-Undang (RUU) Penanganan Fakir Miskin disahkan. Undang-Undang yang merupakan amanat konstitusi ini dibentuk sebagai tanggung jawab pemerintah dan DPR dalam upaya menurunkan jumlah fakir miskin di Indonesia. Dalam pembahasan tingkat II atau sidang paripurna yang dipimpin Priyo Budi Santoso, hari ini, akhirnya seluruh fraksi sepakat RUU Penanganan Fakir Miskin disahkan. "Seluruh fraksi menyetujui RUU Penanganan Fakir Miskin untuk dijadikan UU," kata Priyo sambil ketuk palu, Kamis (21/7).Menteri Sosial RI Salim Segaf Al Jufri mengatakan, ada tiga masalah krusial yang disepakati dalam RUU Penanganan Fakir Miskin itu.Pertama, mengenai pendataan. Pemerintah dan DPR sepakat kriteria fakir miskin ditetapkan oleh Menteri Sosial berkoordinasi dengan kementerian terkait. "Pendataannya akan dilakukan oleh lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan bidang pendataan, yakni Badan Pusat Statistik (BPS)," ujar Salim, dalam sidang paripurna untuk pengambilan keputusan atas RUU Penanganan Fakir Miskin, Kamis (21/7).Ketua Komisi VIII DPR RI Abdul Kadir Karding menyebut, pemerintah jangan sampai lalai mendata dan mencatat seluruh fakir miskin. Kedua, mengenai sumber pendanaan. Pemerintah dan DPR sepakat tidak mencantumkan besarnya presentase, namun dengan rumusan di mana pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab mengalokasikan dana yang memadai. Adapun sumber pendanaan antara lain berasal dari APBN, APBD, hibah dari luar dan dalam negeri, Coorporate Social Responsibility (CSR), dan sumber dana lain yang tidak mengikat.Masalah krusial ketiga, yang sempat menjadi perdebatan antara panja Komisi VIII RUU Penanganan Fakir Miskin adalah mengenai kelembagaan. Akhirnya disepakati cukup memperkuat lembaga yang telah ada, yakni Kementerian Sosial, dan Menteri Sosial sebagai leading sector dalam penanganan fakir miskin. "Kami tidak menginginkan ada lembaga baru," kata Salim, beberapa waktu lalu.Abdul Kadir Karding mengatakan, undang-undang penanganan fakir miskin dapat memutus mata rantai kemiskinan di Indonesia. "Bisa memutus mata rantai kemiskinan dari 14,5 juta fakir miskin di Indonesia," katanya dalam Sidang Paripurna.Dalam aturan yang terdiri dari 275 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), 9 bab, dan 44 pasal ini akan menanganai fakir miskin dalam pengembangan potensi diri, bantuan pangan dan sandang, penyediaan pelayanan perumahan, kesehatan, pendidikan, penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha, bantuan hukum, dan pelayanan sosial.
Akhirnya, RUU Penanganan Fakir Miskin disahkan hari ini
JAKARTA. Akhirnya, Rancangan Undang-Undang (RUU) Penanganan Fakir Miskin disahkan. Undang-Undang yang merupakan amanat konstitusi ini dibentuk sebagai tanggung jawab pemerintah dan DPR dalam upaya menurunkan jumlah fakir miskin di Indonesia. Dalam pembahasan tingkat II atau sidang paripurna yang dipimpin Priyo Budi Santoso, hari ini, akhirnya seluruh fraksi sepakat RUU Penanganan Fakir Miskin disahkan. "Seluruh fraksi menyetujui RUU Penanganan Fakir Miskin untuk dijadikan UU," kata Priyo sambil ketuk palu, Kamis (21/7).Menteri Sosial RI Salim Segaf Al Jufri mengatakan, ada tiga masalah krusial yang disepakati dalam RUU Penanganan Fakir Miskin itu.Pertama, mengenai pendataan. Pemerintah dan DPR sepakat kriteria fakir miskin ditetapkan oleh Menteri Sosial berkoordinasi dengan kementerian terkait. "Pendataannya akan dilakukan oleh lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan bidang pendataan, yakni Badan Pusat Statistik (BPS)," ujar Salim, dalam sidang paripurna untuk pengambilan keputusan atas RUU Penanganan Fakir Miskin, Kamis (21/7).Ketua Komisi VIII DPR RI Abdul Kadir Karding menyebut, pemerintah jangan sampai lalai mendata dan mencatat seluruh fakir miskin. Kedua, mengenai sumber pendanaan. Pemerintah dan DPR sepakat tidak mencantumkan besarnya presentase, namun dengan rumusan di mana pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab mengalokasikan dana yang memadai. Adapun sumber pendanaan antara lain berasal dari APBN, APBD, hibah dari luar dan dalam negeri, Coorporate Social Responsibility (CSR), dan sumber dana lain yang tidak mengikat.Masalah krusial ketiga, yang sempat menjadi perdebatan antara panja Komisi VIII RUU Penanganan Fakir Miskin adalah mengenai kelembagaan. Akhirnya disepakati cukup memperkuat lembaga yang telah ada, yakni Kementerian Sosial, dan Menteri Sosial sebagai leading sector dalam penanganan fakir miskin. "Kami tidak menginginkan ada lembaga baru," kata Salim, beberapa waktu lalu.Abdul Kadir Karding mengatakan, undang-undang penanganan fakir miskin dapat memutus mata rantai kemiskinan di Indonesia. "Bisa memutus mata rantai kemiskinan dari 14,5 juta fakir miskin di Indonesia," katanya dalam Sidang Paripurna.Dalam aturan yang terdiri dari 275 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), 9 bab, dan 44 pasal ini akan menanganai fakir miskin dalam pengembangan potensi diri, bantuan pangan dan sandang, penyediaan pelayanan perumahan, kesehatan, pendidikan, penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha, bantuan hukum, dan pelayanan sosial.