KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Harga minyak melonjak setelah Amerika Serikat (AS) dan negara Barat memberlakukan sanksi pada bank-bank Rusia sehingga memicu kekhawatiran pasokan energi akan terpengaruh secara tidak langsung. Harga minyak mentah Brent yang merupakan harga minyak acuan internasional, naik 7% hingga diperdagangkan setinggi US$105 per barel. Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate, patokan AS, juga naik sebanyak 7% diperdagangkan di atas US$ 98 per barel. Kedua kontrak tembus di atas US$ 100 pada hari Kamis untuk pertama kalinya sejak 2014 setelah Rusia menginvasi Ukraina. Namun, lonjakan awal berumur pendek dengan WTI dan Brent turun sepanjang sesi Kamis dan Jumat pagi setelah sanksi putaran pertama Gedung Putih namun tidak menargetkan sistem energi Rusia.
Baca Juga: Siaga! Putin Menempatkan Penangkal Nuklir dari Pembalasan Negara Barat Pada hari Sabtu, AS, sekutu Eropa dan Kanada mengatakan mereka akan memutuskan bank-bank Rusia tertentu dari Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication, atau SWIFT. “Ini akan memastikan bahwa bank-bank ini terputus dari sistem keuangan internasional dan membahayakan kemampuan mereka untuk beroperasi secara global,” tulis pernyataan negara barat, dikutip dari CNBC, Senin (28/2). Rusia adalah pemasok utama minyak dan gas, terutama ke Eropa. Sementara itu, sanksi ini tidak menargetkan energi secara langsung. Para ahli mengatakan akan ada efek yang signifikan pada sektor tersebut. Baca Juga: Bank Sentral Rusia Akan Memborong Emas dan Perkuat Pasar Domestik Hadapi Sanksi Barat “Berbagai sanksi perbankan membuat penjualan minyak Rusia sangat sulit terjadi sekarang. Sebagian besar bank tidak akan memberikan pembiayaan dasar, karena risiko bertabrakan dengan sanksi,” kata John Kilduff, mitra Again Capital. OPEC dan negara penghasil minyaknya, termasuk Rusia, akan bertemu minggu ini untuk menentukan kebijakan produksi minyak untuk April ini. Aliansi minyak tersebut telah meningkatkan produksi sebesar 400.000 barel per hari setiap bulannya seiring dengan pengurangan produksi hampir 10 juta barel per hari yang diterapkan pada April 2020 saat pandemi berlangsung.