Akil Mochtar tetap dihukum seumur hidup



JAKARTA. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tetap menghukum mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dengan pidana penjara seumur hidup. Pengadilan tinggi menolak banding Akil dan menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dijatuhkan sebelumnya.

M Hatta dari Humas Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menyatakan hal itu saat dikonfirmasi, Senin (24/11/2014). Hatta tak memberikan keterangan lebih jauh saat ditanya kapan perkara tersebut diputus dan apa saja pertimbangan majelis tingkat banding.

”Putusan dianggap telah tepat dan benar,” kata M Hatta melalui layanan pesan singkat. Putusan itu dijatuhkan oleh majelis banding yang diketuai Syamsul Bahri Bapatua.


Dihubungi secara terpisah, salah satu kuasa hukum Akil, Adardam Achyar, menyatakan sama sekali belum mendengar informasi apa pun terkait perkara banding Akil. Ia tidak tahu bahwa perkara kliennya sudah diputus.

Saat dimintai tanggapan mengenai ditolaknya banding Akil, Adardam enggan memberikan komentar karena tidak yakin akan kebenaran informasi yang ditanyakan Kompas. ”Saya tidak bisa memberikan komentar untuk sesuatu yang belum ada. Nanti melanggar kode etik. Saya cari informasi dulu, ya. Nanti kalau sudah dapat, saya hubungi,” katanya.

Sebelumnya, pada 30 Juni 2014, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memidana Akil dengan hukuman penjara seumur hidup. Enam dakwaan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi terbukti secara sah dan meyakinkan. Dakwaan pertama terkait penerimaan uang Rp 3 miliar dalam perkara Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Pilkada Kabupaten Lebak (Rp 1 miliar), Pilkada Kabupaten Empat Lawang (Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS), dan Pilkada Kota Palembang (Rp 19,866 miliar). Akil dijerat Pasal 12 c UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Terbukti terima hadiah

Dakwaan kedua, Akil terbukti menerima hadiah atau janji terkait pemenangan sengketa pilkada di Kabupaten Buton sebesar Rp 1 miliar, Kabupaten Pulau Morotai Rp 2,9 miliar, Kabupaten Tapanuli Tengah Rp 1,8 miliar, serta menerima janji uang untuk memenangkan sengketa Pilkada Jawa Timur Rp 10 miliar.

Pada dakwaan ketiga, Akil dinilai terbukti menerima uang Rp 125 juta dari Wakil Gubernur Papua periode 2006-2011 Alex Hasegem untuk konsultasi perkara sengketa Pilkada Kabupaten Merauke, Asmat, dan Boven Digoel, serta permintaan percepatan putusan sengketa Pilkada Kota Jayapura dan Kabupaten Nduga.

Dakwaan keempat, Akil terbukti menerima hadiah Rp 7,5 miliar dari Chaeri Wardana alias Wawan, adik kandung Gubernur Banten Atut Chosiyah, terkait sengketa Pilkada Provinsi Banten. Dakwaan kelima dan keenam, Akil terbukti melakukan pencucian uang sehingga melanggar Pasal 3 UU No 8/2010 dan Pasal 3 Ayat (1) Huruf a UU No 15/2002 (Kompas, 1/7).

Pengurus Indonesia Corruption Watch Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan Emerson Yuntho meminta putusan banding Akil dijadikan momentum penuntasan kasus suap dalam penanganan sengketa pilkada di MK. KPK tak cukup cuma membongkar kasus itu, tetapi harus menuntaskannya dengan menindak aktor lain. ”Banyak yang disebut dalam kasus itu. KPK harus menuntaskannya, jangan hanya menindak beberapa nama,” ujarnya.

Dalam perkara Akil, KPK telah menindaklanjuti dengan menghadapkan Atut, Wawan, Wali Kota Palembang Romi Herton dan istrinya, serta sejumlah nama lain ke pengadilan. Emerson juga berharap putusan Akil dijadikan yurisprudensi bagi pemidanaan pelaku tindak pidana korupsi oleh pimpinan lembaga negara/pejabat publik, termasuk untuk para hakim yang melakukan korupsi. (ANA)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie