Akselerasi energi baru terbarukan



Kenaikan harga batubara, gas, bahan bakar minyak (BBM) serta pelemahan kurs rupiah terhadap dollar AS menaikkan biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkit listrik dalam setahun terakhir. Tahun 2017, rata-rata BPP nasional pembangkit listrik meningkat sebesar Rp 42 per kWh, dari Rp 983 per kWh pada 2016, menjadi Rp 1.025 per kWh.

Meskipun secara nasional terjadi kenaikan, namun BPP pembangkit listrik di beberapa distribusi wilayah di luar Jawa justru mengalami penurunan signifikan. Penyebab penurunan BPP adalah substitusi energi primer dari BBM beralih ke energi baru terbarukan (EBT), terutama pembangkit listrik tenaga air.

Kendati pengembangan EBT cukup menggembirakan, namun secara nasional hingga akhir 2017 bauran energi pembangkit listrik masih didominasi batubara. Porsinya 57,22%. Disusul gas (24,82%) dan BBM 5,81%.


Sedangkan porsi EBT baru 12,15%, atau sekitar 50% dari target yang ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Berdasarkan Peraturan Presiden No 22/2017 tentang RUEN, target bauran energi EBT ditetapkan sebesar 23%, dengan total daya 92,2 million tons of oil equivalent (mtoe), yang akan dicapai pada tahun 2025 nanti.

Untuk mencapai target RUEN itu, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) telah melakukan berbagai upaya. Salah satunya adalah mengubah paradigma penggunaan EBT. Jika semula EBT dipandang sebagai energi alternatif, kini EBT dilihat sebagai energi utama.

Kementerian ESDM juga berupaya untuk menjaga keberlanjutan pasokan energi EBT dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif. Di antaranya mendorong investor untuk membangun pembangkit listrik tenaga (PLT) EBT. Selain itu, Kementerian ESDM mendorong pembangunan PLT EBT yang menggunakan teknologi untuk mencapai efisiensi. Melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 50/2017 tentang pemanfaatan sumber EBT untuk penyediaan tenaga listrik.

Pasal 5 ayat 3 Permen ESDM No. 50/2017 menetapkan bahwa harga pembelian listrik dari tenaga surya, angin, air, biomassa, dan biogas dipatok paling tinggi sebesar 85% BPP pembangkit listrik setempat. Dalam Permen ESDM itu, batas atas tarif dihapus, khusus untuk wilayah yang memiliki BPP lebih rendah dari BPP nasional, seperti Jawa, Bali, dan Sumatera. Harga ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengembang EBT dengan PLN melalui mekanisme business to business.

  Pemberian insentif

Untuk daerah Jawa dan Sumatra yang rata-rata BPP relatif rendah, rata-rata di bawah Rp 1.000 per kWh, harga penjualan listrik EBT menjadi rendah. Tapi di sebagian besar Luar Jawa rata-rata BPP relatif tinggi, antara Rp 1.115 per kWh hingga Rp 2.667 per kWh. Akibatnya, harga penjualan listrik EBT ikut terkerek.

Kenaikan rata-rata BPP secara nasional yang mencapai Rp 1.025 per kWh merupakan peluang bagi pengembang untuk meningkatkan investasi di PLT EBT. Sejak diterapkan Permen ESDM No.50/2017, ada 70 kontrak PLT EBT dengan total kapasitas 1.214,1 MW. Perinciannya, pembangkit air 754 MW (62%), minihidro 286,8 MW (23%), panas bumi 86 MW (7%), surya 45 MW (4%), biomasa 32,5 (3%), dan biogas 9,8 MW (1%).

Bandingkan dengan kontrak yang dibuat di tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2014 ada 23 kontrak, 2015 dan 2016 masing-masing sebanyak 14 kontrak. Peningkatan jumlah kontrak pembangkit EBT itu tentunya tidak lepas dari pemberlakukan Permen ESDM No.50/2017. Salah satu tujuan Permen itu adalah mendorong efisiensi dalam pengembangan pembangkit listrik EBT.

Kendati perkembangan energi terbarukan cukup pesat, namun masih ada beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan energi ini di tanah air. Pertama, adanya keterbatasan ketersediaan infrastruktur yang dibutuhkan bagi pengembangan energi terbarukan. Kedua, adanya regulasi pemerintah pusat dan daerah yang menghambat pengembangan energi terbarukan, termasuk perizinan yang bertingkat dan berjenjang. Ketiga, investasi teknologi EBT relatif mahal, sehingga dibutuhkan modal investasi yang besar, dengan waktu pengembalian investasi yang lama.

Untuk mengakselerasi pengembangan energi terbarukan, pemerintah harus mengatasi kendala tersebut dengan melakukan upaya yang serius dan terus-menerus. Pertama, pemerintah harus mengalokasikan dana APBN untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur, yang dibutuhkan dalam pengembangan energi terbarukan. Ketersedian infrastruktur yang memadai diharapkan dapat menjadi pendorong bagi investor untuk melakukan investasi di sektor pembangkit listrik tenaga energi terbarukan.

Kedua, pemerintah harus menghapus regulasi tumpang tindih, yang menghambat pengembangan energi terbarukan. Perizinan investasi di sektor energi saat ini masih cenderung panjang dan berjenjang, hingga perlu disederhanakan.

Kementerian ESDM sudah melakukan penyederhanaan regulasi dan pemangkasan proses perizinan. Hingga 5 Maret 2018, Menteri ESDM Ignasius Jonan telah mencabut 186 regulasi, sertifikat, dan rekomendasi dicabut. Perinciannya adalah 90 regulasi dan 96 sertifikasi/rekomendasi/perizinan di lingkungan ESDM, termasuk lima regulasi dan sembilan sertifikasi/rekomendasi/perizinan EBT.

Barangkali tidak cukup penataan regulasi dan perizinan dilakukan hanya di lingkungan kementerian ESDM saja. Namun, perlu dilakukan pemangkasan perizinan secara menyeluruh, yang melibatkan semua Kementerian terkait dan instansi di daerah.

Ketiga, pemerintah harus memberikan berbagai insentif dan subsidi, sesuai dengan tahapan pengembangan EBT. Insentif perpajakan dapat diberikan kepada pengembang energi terbarukan yang sudah memasuki produksi komersial. Bagi pengembang energi terbarukan yang masih pada tahapan produksi semi komersial, pemerintah dapat memberikan subsidi kepada pengembang tersebut hingga memasuki tahap produksi komersial. Untuk mendorong inovasi energi ini, pemerintah dapat mengalokasikan dana APBN untuk membiayai penelitian dan pengembangan energi terbarukan secara inovatif.

Dengan upaya mengatasi kendala pengembangan energi terbarukan secara berkelanjutan, diharapkan akselerasi pengembangan energi tersebut dapat dicapai. Tidak menutup kemungkinan target bauran energi ditetapkan dalam RUEN sebesar 23% pada 2025 dan 33% pada 2050 akan dapat dicapai tepat waktu, bahkan bisa dicapai lebih cepat dari target waktu yang ditetapkan dalam RUEN.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi