Akselerasi industri manufaktur



Industri manufaktur selayaknya menjadi tulang punggung perekonomian suatu negara. Pasalnya, industri manufaktur terbukti dapat memberi banyak manfaat kepada negara, seperti menjadi sumber penciptaan add value yang tinggi, penyerapan tenaga kerja dalam skala besar, pengembangan teknologi, sumber devisa dari produk berorientasi ekspor, serta tentunya menarik investasi masuk ke Indonesia.

Proses industrialisasi suatu negara biasanya dimulai dari sektor yang tak butuh teknologi tinggi, seperti tekstil dan garmen. Idealnya, proses ini berkembang ke sektor yang membutuhkan teknologi lebih tinggi seperti otomotif dan elektronik. Jepang dan Korea Selatan adalah contoh negara yang berhasil mengembangkan industri manufaktur hingga menjadi negara maju seperti saat ini.

Proses industrialisasi di Indonesia ternyata tak jauh berbeda. Dimulai dari sektor tekstil pada 1920 berkembang ke otomotif dan elektronik. Ketiga sektor ini sering mendapat sorotan pemerintah mengingat sifatnya yang strategis. Sektor tekstil adalah sektor padat karya yang mampu menyerap jutaan tenaga kerja Indonesia serta berorientasi ekspor. Demikian pula sektor otomotif dan elektronik yang cenderung lebih padat modal namun mampu menghasilkan produk kualitas ekspor.


Meski begitu, perkembangan ketiga sektor tersebut tidaklah selalu mulus. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah tenaga kerja di ketiga sektor itu naik dari 1,3 juta jiwa pada 2008 menjadi 2 juta jiwa pada 2015. Akan tetapi, porsi tenaga kerja di ketiga sektor itu terhadap total tenaga kerja di industri manufaktur menurun dari 29% pada 2008 menjadi 27% pada 2015. Hal ini mengindikasikan ada sektor lain yang tumbuh lebih pesat dari ketiga sektor tadi.

Selain itu, kinerja ekspor ketiga sektor tersebut bervariasi dalam satu dekade terakhir. Sektor yang memiliki kinerja ekspor terbaik adalah otomotif yang nilai ekspornya tumbuh dari US$ 2,8 miliar pada 2008 menjadi US$ 3,1 miliar pada Oktober 2018. Nilai ekspor tekstil cenderung flat untuk periode yang sama, yakni US$ 6,2 miliar pada 2008 menjadi US$ 6,1 miliar pada Oktober 2018.

Di sisi lain, ekspor elektronik justru menurun tajam dari US$ 8,3 miliar pada 2008 menjadi hanya US$ 4,3 pada Oktober 2018. Meski nilai ekspor 2018 belum setahun penuh, perbandingan itu mampu menunjukkan kinerja ekspor ketiga sektor manufaktur unggulan Indonesia belum memuaskan.

Jika dilihat lebih mendalam, hanya sektor otomotif yang berkembang baik. Melihat penjualannya yang mayoritas berasal dari pasar domestik (80%), wajar jika pasar ekspor masih menjadi fokus kedua para produsen otomotif nasional. Namun, mengingat besarnya idle capacity sektor otomotif, bukan tak mungkin kinerja ekspor kendaraan bermotor Indonesia berkembang lebih cepat dibandingkan dengan kedua sektor lain.

Lantas bagaimana Indonesia dapat mengembangkan ketiga sektor tersebut? Langkah yang paling sulit adalah perbaikan struktural industri manufaktur Indonesia, khususnya peningkatan mutu tenaga kerja.

Semakin baik kualitas tenaga kerja maka produktivitas kian meningkat. Kedua, pemberian insentif untuk meningkatkan kualitas riset dan pengembangan produk. Melihat persaingan global yang semakin terbuka, maka kualitas produk ekspor Indonesia harus terus ditingkatkan agar tak kalah bersaing. Selain itu, perbaikan kualitas produk ekspor Indonesia dapat mendorong peningkatan kualitas bahan baku yang digunakan, khususnya dari subsektor pendukung di dalam negeri.

Ketiga, memperbesar pasar baik domestik maupun ekspor. Kami menilai industri manufaktur Indonesia masih dapat memenuhi permintaan dari pasar baru, mengingat capacity utilization-nya masih 74% pada September 2018. Pasar ekspor baru dapat dibuka melalui perjanjian kerjasama bilateral maupun regional. Keempat, memberikan insentif masuknya investasi di industri manufaktur, baik dari dalam maupun luar negeri. Upaya pemerintah mempersingkat birokrasi melalui pelayanan perizinan satu pintu terbukti mampu meningkatkan total investasi di Indonesia sebesar 4,3% (yoy) menjadi Rp 535 triliun pada September 2018. Meski begitu, investasi di industri manufaktur cenderung menurun sejak 2016 seiring maraknya perusahaan start up di bidang jasa.

Melihat hal itu, Bank Mandiri berinisiatif menyelenggarakan Mandiri Investment Forum 2019 pada 30 Januari mendatang. Forum ini akan mempertemukan regulator, investor dan pelaku dunia usaha untuk membahas masalah dalam berinvestasi, baik secara langsung maupun melalui instrumen keuangan di Indonesia.•

Andrian Bagus Santoso Analis Industri Bank Mandiri     

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi