Aksi mogok, produksi Freeport anjlok 50%



JAKARTA. PT Freeport Indonesia tak henti-hentinya mendapat masalah. Setelah ekspor dihentikan pada Januari lalu dan baru mendapat izin ekspor April ini, kini sebanyak 1.700-an karyawan PT Freeport Indonesia melakukan aksi mogok kerja selama satu bulan, dari 1 Mei hingga 30 Mei 2017.

Jurubicara Freeport Indonesia Riza Pratama menjelaskan, akibat adanya mogok kerja ini, kegiatan produksi kembali terganggu, sehingga produksi ore konsentrat menurun. "Penurunan produksi sekitar 50% dari produksi normal 180.000 ton ore per hari," terangnya ke KONTAN, Selasa (2/5).

Riza mengungkapkan, masalah utama mogok kerja lantaran meminta karyawan yang dirumahkan agar bisa bekerja kembali. Tetapi, kebijakan merumahkan karyawan itu adalah rencana efisiensi perusahan selama operasi masih dalam ketidakpastian.


Meski saat ini Freeport Indonesia sudah melakukan ekspor perdana pada 21 April lalu, dengan rincian 22.000 ton ke China dan 22.000 ton ke Jepang, hingga kini perundingan dengan pemerintah masih terus berjalan.

"Setelah ekspor berjalan kami akan merundingkan dengan pemerintah untuk mencari kesepakatan jangka panjang termasuk didalamnya perpanjangan operasi kami," ujarnya. Asal tahu saja, kuota ekspor Freeport dari Februari 2017-Februari 2018 dengan total 1,1 juta ton.

Riza meminta agar aksi mogok kerja selama sebulan itu dibatalkan. Sebab dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB), basis untuk melakukan mogok kerja karyawan bisa dilakukan apabila dalam perundingan tidak mencapai titik temu. Hanya saja, saat ini manajemen dan karyawan tidak dalam melakukan perundingan. Sehingga, mogok kerja tersebut dianggap tidak sah.

"Kami sudah meeting dengan stakeholder dan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Forliugh (merumahkan) karyawan itu untuk menyesuaikan kapasitas sesuai apa yang kita produksi. Program merumahkan itu bukan untuk didiskusikan, tapi program perusahaan untuk menyesuaikan kapasitas produksi," papar Riza.

Ketua Bidang Organisasi Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan (PUK SP-KEP) SPSI PT Freeport Indonesia, Yafet Panggala mengatakan, pihaknya masih belum bersepakat dalam beberapa hal. Ini terkait penerapan sanksi bagi karyawan yang dianggap melakukan pelanggaran terhadap Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Jika nanti terjadi kesepakatan dengan pihak manajemen perusahaan, Yafet bilang, aksi mogok karyawan Freeport bisa dihentikan. "Dengan demikian, surat mogok kami yang sebelumnya disampaikan ke pihak perusahaan dan pemerintah adalah sah. Mogok bukan tujuan, tapi semata-mata alat perjuangan kami," ungkapnya.

Pihak Serikat Pekerja juga ngotot agar seluruh karyawan yang tidak masuk kerja sejak 11 April 2017 tidak diberikan sanksi PHK. Tapi hanya sanksi berupa pembinaan (surat peringatan satu sampai surat peringatan tiga plus) dan tidak dibayarkan hak-haknya (upah) selama meninggalkan pekerjaan. "Semua sanksi yang akan dijatuhkan ke karyawan yang mangkir bekerja tersebut harus dibicarakan bersama dengan pihak Serikat Pekerja, alias tidak diberi tindakan semena-mena oleh pihak manajemen," terang Yafet.

Sayang sampai tulisan ini naik cetak, Jurubicara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sujatmiko belum menjawab masalah pemogokan di tambang Freeport tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini