Aksi SP JICT bisa rugikan iklim investasi



JAKARTA. Aksi demo dan ancaman mogok kerja yang diserukan oleh Serikat Pekerja (SP) JICT dinilai telah membuat iklim investasi di Indonesia semakin buruk. Apalagi tindakan SP tersebut dilakukan untuk memaksa manajemen JICT menaikkan gaji dan bonus yang angkanya mencapai ratusan miliar rupiah.

“Di saat Presiden Jokowi sedang berusaha keras menarik investasi asing ke Indonesia, SP JICT justru terus menghancurkan iklim investasi kita. Sikap SP JICT yang menggunakan isu nasionalisme untuk kepentingan pribadi ini tidak bisa ditoleransi lagi. Pemerintah mesti bertindak tegas jika investasi di pelabuhan tidak ingin semakin rusak,” tandas Direktur Namarin Institute Siswanto Rusdi kepada wartawan, Selasa (2/5).

Dalam pertemuan dengan pebisnis Hongkong di Hongkong, Senin (1/1), Jokowi mengajak para pengusaha Hongkong untuk berinvestasi di Indonesia.


Bahkan dalam pertemuannya dengan Li Kha Shing, salah satu pengusaha terkaya di Asia, Jokowi juga mengajak pemilik CH Hutchison Holdings itu untuk meningkatkan investasinya di Indonesia. Saat ini, nilai investasi CK Hutchson Holdings di Indonesia mencapai US$ 10 miliar atau lebih dari Rp 130 triliun.

“Terdapat komitmen (dari Li Kha Shing), untuk meningkatkan investasi di Indonesia,” jelas menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang mendampingi Presiden dalam pertemuan itu melalui keterangan tertulis (1/5).

Siswanto menambahkan, tindakan SP JICT yang terus menerus melakukan aksi demo selama 2 tahun terakhir sangat merugikan perekonomian Indonesia. Apalagi, tujuan dari berbagai aksi tersebut hanya untuk menaikkan kesejahteraan para karyawan JICT yang saat ini sudah sangat tinggi.

Gaji terendah di JICT sudah mencapai Rp 50 juta sebulan, sekelas manajer Rp 80 juta dan senior manajer lebih dari Rp 100 juta.

Menurut Siswanto, selama ini SP JICT menggunakan isu perpanjangan kontrak JICT antara Pelindo II dan Hutchison Port Holding (HPH) untuk menekan direksi agar mengikuti keinginan SP.

Contohnya, demo yang terjadi pada Selasa (2/5) ini dan ancaman mogok kerja dari Senin (15/2)- Sabtu (20/5). “Semua aksi ini dilakukan agar kemauan SP dipenuhi direksi. Ini sangat berbahaya. Jika dibiarkan akan menciptakan situasi yang menakutkan bagi investor manapun,” ujar Siswanto.

Sebelumnya, pada 6 April 2017, SP JICT juga menggelar demo menolak perpanjangan kontrak JICT. Aksi itu bahkan diwarnai tindakan anarkis menyusul penyegelan kantor direksi JICT dan ancaman terhadap ekspatriat.

Aksi demo itu dilakukan sehari setelah direksi menolak tiga permintaan SP JICT agar perusahaan menaikkan gaji dan bonus karyawan.

Pada hari Rabu 5 April 2017, dalam pertemuan Direksi dan SP JICT, manajemen memutuskan untuk menolak tiga permintaan SP. Ketiga permintaan itu adalah,  Pengesahan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) 2016-2018 yang didalamnya memuat klausul peningkatan gaji dan kesejahteraan pekerja JICT sebesar US$ 6,95 juta atau lebih dari  Rp 100 miliar.

Kedua, Direksi menolak keinginan SP JICT yang meminta bonus tahunan 2016 lebih besar daripada ketentuan dalam PKB sebesar 7,8% dari keuntungan sebelum pajak. Dan Ketiga, Direksi juga menolak keinginan SP agar dana Program Tabungan Investasi (PTI) tahun 2016 dibayarkan. Pasalnya, SP JICT tidak mampu mencapai target kinerja minimal yang menjadi syarat pembayaran dana PTI. Apalagi, SP JICT juga dinilai ingkar janji lantaran menolak untuk dilakukannya audit dana PTI yang telah dibayarkan sejak 2010 sebesar US$ 11 juta.

“Pemerintah dan penegak hukum jangan terjebak kepada isu yang bangun SP JICT soal perpanjangan kontrak. Kasihan Presiden Jokowi yang sudah bekerja keras mendatangkan Investor, tapi didalam negeri justru digembosi segelintir kelompok untuk kepentingan pribadi,” ujar Siswanto. (Hendra Gunawan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan