JAKARTA. Pamor obligasi pemerintah masih tinggi. Menilik data Bursa Efek Indonesia (BEI), sepanjang Januari hingga Juli 2012, aktivitas perdagangan SBN yaitu Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), obligasi negara ritel (ORI) dan Sukuk Ritel mencapai Rp 1.184,68 triliun. Angka ini meningkat 12,76% dari periode yang sama di 2011. Sementara, rata-rata transaksi harian juga mengalami kenaikan. Pada periode Januari – Juli 2012, rata-rata transaksi harian SBN mencapai Rp 8,06 triliun per hari. Angka ini naik 10,46% dibandingkan periode yang sama pada 2011, yang sebesar Rp 7,3 triliun. Destry Damayanti, ekonom Bank Mandiri, mengatakan, kenaikan volume SBN didukung faktor fundamental ekonomi makro. Hal ini tercermin dari tingkat inflasi dan suku bunga yang terjaga. Selain itu Bank Indonesia (BI) juga tetap menjaga nilai tukar rupiah agar tetap stabil.
Sementara Lana Soelistianingsih, ekonom Samuel Sekuritas, mengatakan faktor pendukung peningkatan volume itu ialah likuiditas. Kapitalisasi pasar obligasi korporasi hanya sekitar Rp 50 – 60 triliun. Sementara, obligasi pemerintah sudah sekitar Rp 700-an triliun. Likuditas obligasi pemerintah lebih tinggi, sehingga investor punya kesempatan lebih mudah untuk menjual kembali. Akan naik perlahan Kepemilikan obligasi pemerintah sebagian besar ada pada investor perbankan dan asing. Sektor perbankan membeli obligasi pemerintah untuk mengelola aset mereka. Jika sewaktu-waktu ada penarikan, maka perbankan bisa segera melakukan aksi jual obligasi. Kalau untuk tujuan likuiditas, maka investor akan fokus dengan modal yang beredar di pasar. Ketertarikan investor asing berinvestasi di surat utang negara juga tercermin dari kepemilikan asing yang terus meningkat. Berdasarkan catatan Direktorat Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, kepemilikan asing di pasar SBN hingga Juli 2012 mencapai RP 234,56 triliun. Dibanding sebulan sebelumnya, dana asing itu bertambah 10,14 triliun. Hingga Kamis (9/8), kepemilikan asing kembali meningkat menjadi Rp 238,10 triliun. Hingga akhir tahun, sentimen yang mempengaruhi aktivitas perdagangan SBN masih tergolong positif. Meski begitu, Destry menuturkan, aliran dana masuk tidak akan terlalu kencang karena ketidakpastian global masih tinggi. Namun, jika inflasi dan nilai tukar rupiah bisa terjaga, maka pasar obligasi tidak akan terlalu volatil dan aktivitas perdagangan SBN masih bisa lebih tinggi lagi. Lana memproyeksikan hingga akhir tahun obligasi pemerintah akan lebih diminati investor, baik lokal maupun asing. Meskipun obligasi korporasi masih memiliki potensi. Akan tetapi, investor korporasi terbatas dari dalam negeri saja, terutama bagi manajer investasi (MI) sebagai aset dasar (underlying asset) beberapa produk reksadana. Lana menyebutkan, kasus gagal bayar obligasi, seperti obligasi PT Berlian Laju Tanker Tbk (BLTA) membawa sentimen negatif bagi pasar obligasi korporasi. Setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan investor dalam pemilihan obligasi yakni rating dan kredibilitas. Dari sisi kredibilitas, obligasi pemerintah lebih terjaga keamanannya dibandingkan obligasi korporasi.
Meskipun, kupon obligasi korporasi lebih tinggi, tapi bagi investor faktor likuiditas dan keamanan lebih penting.“Kalau beda imbal hasil antara obligasi pemerintah dengan korporasi hanya 50 – 100 basis poin, pasti investor lebih pilih SBN,” tandasnya. Credit Default Swap (CDS) yang merupakan indikator risiko berinvestasi di Indonesia pun menunjukkan tren penurunan. CDS bertenor 10 tahun pada akhir Juli berada di level 238,73. Jika dibanding sejak awal tahun, telah terjadi penurunan 17,08 poin. Pada Jumat (10/8), CDS kembali luruh ke level 225,28. Sementara, CDS bertenor lima tahun menurun 8,23 poin dalam sepekan menjadi 160,60. Jika dibanding sejak awal tahun 2012, CDS bertenor lima tahun itu telah turun 47,77 poin dari posisinya di angka 208,27. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Rizki Caturini