KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bencana banjir yang merendam Kalimantan Selatan (Kalsel) diduga tak lepas dari kerusakan lingkungan dan alih fungsi kawasan hutan akibat pertambangan batubara. Salah satu perusahaan tambang batubara berskala jumbo yang beroperasi di Kalsel adalah PT Adaro Energy Tbk (
ADRO). Melalui anak usahanya, PT Adaro Indonesia, ADRO memiliki konsesi lebih dari 30.000 hektare (ha) di wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Head of Corporate Communication ADRO Febriati Nadira tidak secara spesifik menanggapi dugaan aktivitas tambang batubara terhadap bencana banjir di Kalsel. Hanya saja, sebagai kontraktor pemerintah dan perusahaan publik, dia mengklaim bahwa Adaro telah menerapkan prinsip tata kelola pertambangan yang baik (
good mining practices)
"Termasuk dalam merehabilitasi daerah aliran sungai (DAS)," kata Nadira kepada Kontan.co.id, Kamis (21/1).
Baca Juga: 70% Lahan Kalsel dikuasai industri ekstraktif, Jatam dan Walhi minta evaluasi izin Dia melanjutkan,
ADRO telah menyerahterimakan sebagian hasil tanaman rehabilitasi DAS kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada September 2020. Sebagai salah satu pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), Nadira juga mengklaim bahwa pihaknya sudah melaksanakan rehabilitasi DAS di luar konsesinya, yaitu di Kabupaten Banjar, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan Kabupaten Barito Selatan. "Sebagai bagian dari upaya pemulihan tutupan lahan yang dapat meningkatkan infiltrasi dan mengurangi potensi banjir," jelas dia.
Dalam melakukan rehabilitasi DAS, imbuhnya, ADRO juga telah melibatkan masyarakat dalam persiapan penanaman, kegiatan penanaman dan pemeliharaannya. Termasuk dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan melalui kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA). "Tahun 2020 Adaro menerima penghargaan Proper Emas yang ketiga kalinya. Menunjukkan kinerja perusahaan luar biasa dan lebih dari yang dipersyaratkan pemerintah (beyond compliance) dalam pengelolaan lingkungan hidup," ungkap Nadira.
Editor: Anna Suci Perwitasari