Aktivitas sektor manufaktur stagnan, pelaku usaha masih wait and see



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja sektor manufaktur membuka tahun dengan stagnansi. Berdasarkan purchasing managers' index (PMI) Manufaktur Indonesia yang dirilis Nikkei dan IHS Market, aktivitas manufaktur di dalam negeri berubah arah menuju perlambatan pada level 49,9, dari sebelumnya terbilang masih cukup ekspansif pada level 51,2.

Kepala Ekonom IHS Markit Bernard Aw menilai, perlambatan aktivitas manufaktur di Indonesia pada awal tahun ini terjadi akibat menurunnya permintaan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Namun, kondisi ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga pada sejumlah negara ASEAN lainnya yang menghadapi perlambatan permintaan.

Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perindustrian Johnny Darmawan berpendapat, pelemahan aktivitas sektor manufaktur di Januari sudah terprediksi.


"Desember lalu kan sempat ada kenaikan karena produksi meningkat. Memasuki Januari, wajar ada pelambatan karena sudah digenjot sebelumnya di akhir tahun lalu," ujar Johnny, Senin (4/2).

Selain itu, Johnny juga melihat bahwa di awal tahun ini para pelaku industri manufaktur masih moderat dalam hal ekspansi produksi maupun penjualan. Hal ini lantaran, pelaku industri memilih untuk wait and see di tengah potensi ketidakpastian, baik secara global maupun domestik.

Secara global, lanjut Johnny, ada sejumlah faktor yang membuat pelaku industri lebih berhati-hati. Di antaranya sempat terjadinya peristiwa shutdown pemerintahan Amerika Serikat (AS) serta perlambatan ekonomi China yang dikhawatirkan merembet pada negara-negara lain, terutama negara berkembang.

"Ketidakpastian seperti ini tentu membuat geliat sektor manufaktur menjadi lebih lesu awal tahun ini," imbuhnya.

Belum lagi, pelaku industri juga cenderung waspada terhadap situasi politik menjelang pemilihan umum presiden dan kepala daerah. Menurut Johnny, industri manufaktur mestinya bisa kembali lebih bertenaga pasca kuartal pertama di saat risiko ketidakpastian sudah lebih reda.

Senada, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani memprediksi, industri manufaktur Indonesia akan menunjukkan perbaikan pasca kuartal pertama ini. "Karena secara historis, tingkat produksi dan permintaan di Januari - Maret itu memang siklusnya menurun dan baru mulai naik memasuki kuartal kedua dan seterusnya," kata Hariyadi, Senin (4/2).

Kendati begitu, Hariyadi meyakini, aktivitas industri manufaktur bisa lebih baik seiring dengan penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi sejak awal tahun. Mengingat masih besarnya impor bahan baku dan barang modal yang digunakan untuk produksi, penguatan nilai tukar rupiah semestinya berdampak positif bagi sektor tersebut.

"Kalau tren rupiah sebulan ke depan ini masih stabil di bawah Rp 14.000 per dollar AS, dampaknya akan terlihat pada kinerja industri manufaktur di bulan selanjutnya karena biaya bisa ditekan dan menjadi lebih efisien," lanjut Hariyadi.

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro juga menilai, saat ini kinerja industri manufaktur sepanjang Januari lalu masih terdampak oleh depresiasi rupiah yang cukup dalam pada kuartal empat 2018. Lantas, industri belum mampu memproduksi tinggi di tengah tekanan biaya yang besar.

"Menaikkan harga jual dalam kondisi seperti ini juga sulit karena tingkat persaingan pun tinggi," kata Ari, Senin (4/2).

Untuk itulah, lanjut Ari, perlunya pemerintah terus fokus menciptakan industri bahan baku dan barang penolong yang memadai di dalam negeri agar ketergantungan pelaku sektor manufaktur terhadap impor bisa berkurang. Dengan begitu, fluktuasi nilai tukar tak serta merta menghambat produksi dan menurunkan geliat aktivitas sektor manufaktur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli