KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Persoalan akurasi dan sedikitnya data peta lahan gambut jadi salah satu hambatan yang dihadapi Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk menjalankan mandat restorasi dan supervisi lahan gambut empat tahun belakangan. Peta indikatif gambut yang saat ini menjadi pedoman restorasi gambut adalah peta dengan skala 1:250.000 dan mengacu pada Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2014 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut.
Baca Juga: Jangan sampai orang Kalimantan Timur cuma menonton di ibukota baru "Kalau untuk pedoman teknis peta ini cukup, tapi tentu supaya bisa lebih akurat saat turun ke lapangan sebenarnya perlu peta yang lebih komprehensif. Ini memang tantangan yang dihadapi BRG sejak mereka berdiri," kata akademisi dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Institut Pertanian Bogor Baba Barus. BRG melalui Keputusan Kepala BRG No. SK.05/BRG/KPTS/2016 sudah berinisiatif melakukan perincian peta rencana kerja restorasi dari skala 1:50.000 hingga skala 1:2.500 di daerah prioritas utama. Bekerja sama dengan beberapa universitas, Badan Informasi Geospasial (BIG), dan World Resource Institute (WRI), BRG menggunakan teknologi Light Detection and Ranging (LiDAR) untuk mendapatkan data yang lebih akurat. Sementara peta yang utuh dalam kesatuan hidrologis gambut (KHG) hanya tersedia di sangat sedikit lokasi. "Kalau BRG bisa menyediakan peta ekosistem gambut semua level, maka ini sangat membantu untuk keperluan konstruksi pembasahan gambut," kata dia. Menurut Barus, tanggung jawab akurasi peta lahan gambut sebenarnya ada di bawah Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan (BBSDLP). Lembaga ini diamanatkan melakukan pemetaan ulang sekaligus mendukung kebijakan One Map Policy (OMP) salah satunya untuk aktivitas di lahan gambut.
Baca Juga: Waduh, kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Barat capai 309 hektare "Survei tanah sistematis skala 1:50.000 baru selesai tahun lalu oleh lembaga berwenang dan belum dirilis menjadi peta. Harusnya mereka bisa menggabungkan data jadi utuh termasuk dari yang sudah dihimpun BRG," kata Barus. Ia juga menekankan perlunya koordinasi antar instansi yang cepat untuk mendapatkan dan mengumpulkan data agar bisa menjadi peta yang terintegrasi menyeluruh. Menurutnya, inisiatif dari BRG dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dan perusahaan sudah sangat tinggi.
"Tapi fakta di lapangan, komitmen daerah bervariasi dan inisiatif pembuatan data dari daerah sangat rendah. Ada juga kemungkinan data perusahaan terkait lahan tidak dimunculkan ke publik karena dianggap properti mereka," kata Barus. Terkait urgensi pemetaan gambut supaya bisa ditangani secara tepat, Barus juga mengimbau harus ada lembaga yang diberi wewenang membuat dan mengumpulkan data secara utuh dan lengkap. "Harus bisa memaksa organisasi lain untuk menyerahkan data. Jangan ada lagi yang berkilah terhambat tugas pokok dan fungsi," katanya.
Baca Juga: Hingga awal Oktober, KLHK telah menyegel 62 lokasi konsesi terkait karhutla Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi