KONTAN.CO.ID - KOLOMBO (Reuters) Bisa dibilang Sri Lanka telah lebih dulu mengalami resesi ekonomi yang saat ini jadi momok seluruh dunia. Resesi ekonomi di negara itu telah mendorong pemerintah sukarela menurunkan derajat status ekonominya. Kabinet Sri Lanka telah menyetujui proposal penurunan status ekonomi negara menjadi "negara berpenghasilan rendah".
Langkah itu bertujuan mendapatkan akses ke pendanaan lunak dari organisasi internasional, kata juru bicara kabinet, Selasa (11/10). Ekonomi Sri Lanka berada dalam kemerosotan yang dalam, anjlok 8,4% secara tahunan pada kuartal Juni. Ini merupakan penurunan ekonomi kuartalan paling tajam. PDB per kapita Sri Lanka adalah US$3.815 pada tahun 2021. Angka itu menempatkan Sri Lanka dalam kategori ekonomi menengah ke bawah, menurut Bank Dunia. "Mengingat krisis keuangan serius yang dihadapi Sri Lanka, perwakilan organisasi internasional telah memberi tahu kami bahwa jika Sri Lanka dikategorikan sebagai negara berpenghasilan rendah, akses pendanaan akan lebih mudah," kata Bandula Gunawardane.
Baca Juga: IMF dan Bank Dunia Kompak Peringatkan Risiko Resesi Global 2023 Pulau di Asia Selatan berpenduduk 22 juta orang itu sedang berjuang melawan krisis ekonomi terburuk sejak kemerdekaan pada tahun 1948. Krisis terjadi akibat COVID-19 yang menghancurkan ekonomi. Maklum perekonomian Sri Lanka bergantung pada pariwisata. Covid-19 juga telah memangkas pengiriman uang dari pekerja di luar negeri.
Baca Juga: 2023 Diramal Terjadi Resesi Ekonomi Global, Ini 3 Langkah untuk Menghadapinya Krisis juga terpicu oleh kenaikan harga minyak, pemotongan pajak populis, dan pemotongan pajak selama tujuh bulan.
Larangan impor pupuk kimia tahun lalu menghancurkan sektor pertanian. Krisis telah menyebabkan Sri Lanka kekurangan dolar akut untuk membayar impor makanan, bahan bakar dan obat-obatan. Anjloknya nilai Rupee dan inflasi yang tak terkendali semakin memperparah keadaan. Bank Sentral Sri Lanka yang mempertahankan suku bunga stabil pekan lalu, memperkirakan kontraksi produk domestik bruto 8,7% untuk 2022.
Editor: Hasbi Maulana