Alarm ekonomi Indonesia itu menyala dari data defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) yang makin melebar. Catatan Bank Indonesia (BI), defisit transaksi berjalan di kuartal II-2018 mencapai US$ 8 miliar atau setara 3% dari produk domestik bruto (PDB). Defisit tersebut membesar dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang sebesar US$ 5,7 miliar atau 2,2% dari PDB. Tahun lalu, defisit transaksi berjalan mencapai 1,7% dari PDB atau senilai US$ 17,3 miliar.
Defisit yang makin membesar apalagi sudah 3% dari PDB tentu berisiko bagi perekonomian Indonesia. Malah Menko Perekonomian Darmin Nasution mengakui defisit transaksi berjalan ini sudah mulai lampu kuning. Itu pula mengapa, kurs rupiah susah bergerak menguat walaupun Bank Indonesia (BI) sudah beberapa kali menaikkan suku bunga acuannya. Bukan semata dollar AS memang sedang kuat-kuatnya, juga karena defisit transaksi berjalan Indonesia yang membesar mengundang kekhawatiran pelaku pasar. Kenaikan defisit transaksi berjalan tersebut setidaknya memberi sinyal bahwa kebutuhan dollar AS terus meningkat. Ini yang menekan kurs rupiah. Kemarin, kurs rupiah di pasar spot, melemah 0,13% ke level Rp 14.645 per dollar AS. Problem utama kenaikan current account deficit sebetulnya karena pertumbuhan impor yang lebih kencang ketimbang laju ekspor. Makanya, secara teori cara paling gampang menurunkan defisit transaksi berjalan adalah dengan mengerem laju impor. Bisa dipahami kalau kemudian pemerintah berupaya membatasi impor terutama impor barang konsumsi. Tak lain, memang untuk menekan defisit transaksi berjalan agar tak makin membesar. Dalam rencana pemerintah, ada sekitar 900 komoditas impor yang akan dibatasi dengan mekanisme menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) impor.
Meski secara teori terlihat mudah, kebijakan ini juga harus dipersiapkan dan ditimbang matang-matang agar tak berefek buruk bagi ekonomi Indonesia maupun industri domestik, mengingat penggerak utama ekonomi masih dari konsumsi masyarakat. Program substitusi barang impor yang dibatasi juga harus dipikirkan. Dengan begitu, pembatasan impor barang konsumsi ini bukan sekadar kebijakan yang main gampang. Risiko dan efeknya pun harus diantisipasi secara matang.•
Khomarul Hidayat Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi