JAKARTA. Bahana TCW Investment Management menilai, laju ekonomi Indonesia sudah membaik ketimbang tahun lalu. Namun, ada beberapa faktor, baik dari dalam maupun luar negeri yang menahan sehingga lajunya tak sekencang yang diharapkan. Tantangan internal antara lain adalah penurunan daya beli. Penyebabnya, antara lain penurunan harga komoditas yang melemahkan pendapatan masyarakat, kenaikan harga barang-barang yang diatur pemerintah (listrik, BBM), dan perubahan pola konsumsi masyarakat menjadi berbelanja online. Indikator kenaikan harga, inflasi, tercatat sebesar 2,38% pada paruh pertama tahun ini. Harga barang-barang yang diatur pemerintah atau administered price yang mengalami kenaikan tertinggi, yaitu sampai 7,8%.
Selain tarif listrik, harga BBM, dan harga gas bersubsidi, inflasi juga disumbang oleh kenaikan harga rumah sebesar 4,24%, transportasi dan komunikasi yang naik 4,2%. “Ketika harga-harga yang ditetapkan pemerintah naik, orang cenderung akan mengurangi pemakaiannya, atau memangkas pos pengeluaran lain. Sehingga, bisa jadi masyarakat jadi menunda pembelian baju,” ujar Director Investor Relation and Chief Economist Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat dalam rilis yang diterima KONTAN, Rabu (26/7). Bahana melihat, ada faktor eksternal juga yang bisa mempengaruhi ekonomi Indonesia, yaitu kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat Federal Reserve. Saat ini, The Fed tengah menghitung rencana pemangkasan pembelian obligasi (
tappering off). Selain itu, pasar masih percaya The Fed akan menaikkan lagi bunganya secara bertahap. Hal ini bisa sejatinya bisa berdampak pada penguatan dollar, lalu melemahkan rupiah, seperti yang pernah terjadi tahun 2013 lalu. Alasan optimis Namun, Bahana TCW tetap optimis dengan ekonomi Indonesia. Menurut Budi, pemerintah menyadari keadaan tersebut. Pada revisi RAPBN, pemerintah menambah subsidi dan berkomitmen untuk tidak menaikan harga lagi. Selain itu, pemerintah juga mengajukan defisit anggaran yang lebih besar agar dapat memberikan stimulus terhadap pertumbuhan. Pemerintah memberi ruang defisit sampai 2,92% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun ini. Tidak hanya pemerintah, Bank Indonesia (BI) pun memberikan fasilitas ekspor yang beragam. Dia juga optimis dengan pasar saham dan obligasi hingga akhir tahun nanti. Bahana memperkirakan, mencapai 5,1%, dengan laju inflasi 4,3% dan rata-rata kurs rupiah terhadap dolar AS pada Rp 13.450. Setelah pemeringkat S&P memberikan kenaikan peringkat Mei lalu, diperkirakan para investor institusi asing yang konservatif masih terus masuk ke pasar obligasi dan membuat harga obligasi meningkat.
Alasan lain, fundamental Indonesia lebih kuat, sehingga faktor eksternal seperti kebijakan The Fed pun tidak terlalu berdampak traumatis terhadap pasar keuangan di dalam negeri. Nilai tukar rupiah misalnya, hanya mendatar saja. Indeks saham gabungan pun hanya bergerak turun 0,4%, demikian pula dengan yield Surat Utang Negara bertenor 10 tahun, hanya naik 10 basis poin saja. “Sehingga kebijakan kenaikan suku bunga Fed memang memengaruhi, tetapi tidak traumatis seperti ketika ada pergantian arah kebijakan Fed pada masa Bernanke,” kata Budi lagi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia