Albert Burhan: Dari kontraktor beralih ke maskapai



JAKARTA. Tanggal 16 Februari 2015 lalu menjadi hari yang bersejarah bagi Albert Burhan. Pasalnya, terhitung sejak tanggal tersebut, dia resmi duduk sebagai Presiden Direktur PT Citilink Indonesia.

Pria kelahiran tahun 1967 ini ditunjuk untuk menggantikan Arif Wibowo yang diangkat menjadi Presiden Direktur PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, induk usaha Citilink.

Penunjukan Albert sebagai orang nomor satu di anak usaha maskapai penerbangan pelat merah ini tidak terlalu mengejutkan. Sebab, jebolan teknik sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) ini sudah malang melintang di industri penerbangan selama 20 tahun lalu. "Penunjukan saya sebagai Presiden Direktur Citilink merupakan sebuah kehormatan sekaligus tantangan yang harus dijawab, mengingat industri penerbangan saat ini sangat kompleks dan kompetitif," ujar Albert.


Sebelum menjadi orang nomor satu di Citilink, ayah dua anak ini menjabat sebagai direktur keuangan di Citilink sejak Agustus 2012 dan sempat menjadi pelaksana tugas Presiden Direktur Citilink pada Desember 2014 ketika Arif Wibowo terpilih untuk memimpin Garuda Indonesia.

Perkenalan Albert dengan industri penerbangan dimulai ketika dia menempuh pendidikan Strata 2 (S-2) jurusan Magister Business Administration (MBA) di ITB pada tahun 1993–1995.

Albert mengisahkan bahwa ketika menjadi mahasiswa S-2 ini, dia membuat tesis tentang industri penerbangan dan sering datang ke Garuda Indonesia untuk memperoleh data akademik.

Meski begitu, bidang penerbangan adalah dunia baru bagi Albert. Maklum, latar belakang pendidikan Albert saat meraih gelar sarjana adalah teknik sipil.

Tak heran jika ketika lulus kuliah tahun 1991, Albert bekerja di perusahaan jasa konstruksi. Dia bilang, saat itu, dia terlibat dalam banyak proyek pekerjaan konstruksi, seperti pembangunan pabrik dan pengerjaan sistem penjernih air untuk dipasok ke berbagai perusahaan air minum.

Tak puas hanya menggenggam ijazah sarjana, Albert pun berpikir untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan dan memilih bidang ekonomi.

Albert menambahkan, sosok yang paling penting dalam perjalanan kariernya adalah Budi Setyo Purnomo yang ketika tahun 1994 menjabat Head Corporate Planing Garuda Indonesia. Setelah menuntaskan pendidikan S-2, Albert mengaku ditawari Budi untuk bergabung ke perusahaan BUMN ini. "Saat itu, beliau mengatakan kalau Garuda Indonesia butuh tim yang muda untuk membangun perusahaan," ujarnya.

Albert teringat saat awal mula bergabung dengan Garuda Indonesia. Menurutnya, dia masuk ke Garuda Indonesia satu angkatan dengan Hotasi Nababan yang belakangan dikenal sebagai mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines.

Meski mengaku tak pernah menyangka apalagi bercita-cita untuk bergelut dalam industri penerbangan, namun sejak mengenal industri ini, Albert malah merasa nyaman dan mencintai bidang ini, sehingga sulit untuk keluar.

Albert pun meminjam istilah yang digunakan mantan bosnya di Garuda Indonesia, yaitu Emirsyah Satar. Menurut Albert, Emirsyah pernah bilang bahwa awalnya hanya ingin sebentar tapi malah jadi senang. "Ibarat kata, saya sudah kejebak dalam industri ini," ujarnya.

Satu hal yang membuat Albert menyukai industri penerbangan ini adalah karena banyak tantangan yang berbeda-beda yang dihadapi, sehingga selalu ada semangat untuk menyelesaikan tantangan tersebut.

Albert sendiri sempat bergelut dalam berbagai bidang di industri ini, seperti pada bagian perencanaan perusahaan, operasional, pemasaran, hingga bidang tresuri.

Salah satu alasan yang membuat Albert merasa fleksibel di Garuda Indonesia  adalah dia menguasai dua ilmu berbeda, yakni teknik dan ekonomi.

Sepak terjang Albert yang menguasai banyak hal di Garuda Indonesia ini pada akhirnya meyakinkan direksi perusahaan untuk membawanya berperan saat Garuda Indonesia yang akan membentuk anak usaha baru yakni Citilink pada tahun 2012 silam.

Bersama Arif Wibowo yang merupakan atasan langsungnya ketika itu, Albert ikut membangun Citilink dari nol.  Tugas yang diemban Albert dan rekannya di maskapai anyar ini terbilang berat, yakni mengembalikan pangsa pasar Garuda Indonesia yang makin menurun akibat menjamurnya maskapai Low Cost Carrier (LCC) atau berbiaya rendah.

Albert tak memungkiri bahwa ketika awal dia bertugas di Citilink, Garuda Indonesia dilanda kerisauan karena maskapai LCC telah berhasil menggerogoti pangsa pasar Garuda Indonesia saat itu.

Citilink pun akhirnya mulai terbang dan meramaikan persaingan LCC nasional. Meski label yang diusung adalah penerbangan dengan biaya terjangkau, namun manajemen yang bertugas kala itu harus menjaga profesionalitas agar tidak mengecewakan penumpang.

Aspek manajemen menjadi perhatian utama, mulai dari menghindari delay, perawatan pesawat, hingga kompetensi pilot selalu dijaga hingga saat ini.

Menghadapi persaingan

Tiga bulan sudah Albert duduk sebagai "pilot perusahaan" di Citilink. Langkah awal yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan adalah dengan membentuk tim kerja yang kecil namun bagus.

Bak mengulang apa yang pernah dia alami 20 tahun silam, Albert pun membentuk tim kerja ini mayoritas dengan karyawan muda yang dianggap masih memiliki semangat dan integritas tinggi untuk bekerja. "Kami punya tim yang sudah solid. Ke depannya, Citilink ingin tumbuh lebih besar dan dari sekarang, tim sudah mulai menyiapkan segalanya," ujarnya.

Persiapan yang dimaksud Albert adalah infrastruktur, sistem operasi, dan dana belanja perusahaan. Menurutnya, dalam dua tahun terakhir Citilink, tumbuh 40%–47%, baik dari sisi pertumbuhan penumpang maupun frekuensi terbang.

Tahun ini, Albert menargetkan pertumbuhan yang sama dengan tahun sebelumnya. Saat ini, jumlah penumpang Citilink mencapai 7,6 juta dan ditargetkan bisa menembus 11,2 juta akhir tahun ini.

Target pertumbuhan bisnis ini juga diharapkan bisa mengembalikan keuntungan bagi perusahaan tahun ini.

Maklum, Albert mengakui sejak mulai operasi di akhir 2012, perusahaan ini harus mengejar keuntungan US$ 46 juta agar bisa menutupi biaya investasi perusahaan. Pada tahun 2014, jumlah ini semakin mengecil menjadi tinggal USD 14 juta.

Pada tahun 2015 ini, tantangan terbesar buat bisnis maskapai penerbangan adalah nilai tukar rupiah yang terus melemah terhadap dollar Amerika Serikat.

Menurutnya, pertumbuhan bisnis dan permintaan dari sektor penerbangan menjadi hal yang disyukuri tahun ini dan nilai kurs rupiah ke dollar AS ini menjadi satu-satunya berita negatif dari bidang penerbangan.

Pendapatan Citilink yang diperoleh dalam mata uang rupiah bisa tergerus oleh nilai kurs karena seluruh pengeluaran perusahaan menggunakan mata uang dollar AS.

Namun, di balik masalah itu, Albert mengaku masih tertolong dengan harga minyak yang cenderung rendah tahun ini sehingga bisa menekan pengeluaran.

Selain itu, tiga tahun berjalan, Citilink diakui Albert semakin efisien dalam bekerja. "Nama Citilink yang semakin dikenal publik pun ikut mempengaruhi pendapatan karena kini harga jual ke penumpang bisa ditingkatkan," ujarnya.

Persepsi publik terhadap Citilink dianggap sangat penting dan sejauh ini sudah dianggap baik.  Hal ini terlihat dengan kemampuan perusahaan untuk menjaga harga jual yang relatif stabil. Padahal sebelumnya, guna memenangi persaingan dengan kompetitor, Citilink terpaksa ikut menurunkan harga ketika para pesaing menurunkan harga tiket. "Dengan harga yang stabil, kami bersyukur bisa selalu terisi penuh," ujarnya.

Strategi persaingan bisnis menjadi perhatian Albert. Ke depannya, dia lebih memilih untuk lebih memapankan posisi Citilink sebagai maskapai LCC. "Kami tak mau terlibat perang harga tiket ke penumpang, melainkan menjaga kualitas pelayanan kepada penumpang," ujarnya.

Albert memiliki strategi untuk merebut hati penumpang dengan pelayanan prima dan juga mengambil segmen pasar LCC yang lebih naik ke atas.

Menurutnya, meski dengan perbedaan harga yang tipis antara Citilink dengan maskapai LCC lain, penumpang merasakan kenyamanan yang lebih dan kiat tersebut sejauh ini berhasil berjalan dengan baik.

Dalam target lima tahun ke depan atau sekitar tahun 2019, perusahaan ini menargetkan pangsa pasar bisa tumbuh 10% dari saat ini, sehingga menjadi 20%–25%. Selain itu, pada tahun 2019 tersebut, Citilink sudah harus berbentuk perusahaan publik sehingga punya modal yang lebih baik lagi untuk terus berekspansi.

Saat ini, Citilink sudah memiliki 34 pesawat dan akan ada penambahan 3 pesawat dalam waktu dekat. Harapannya, lima tahun ke depan, jumlah pesawat bisa dua kali lipat dari saat ini. Target ini masih relatif bisa diraih Citilink.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan