KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Dolar Amerika Serikat (AS) masih sulit digantikan posisinya sebagai mata uang global. Semakin meluasnya pengaruh aliansi BRICS belum cukup berarti untuk melengserkan posisi dolar AS. Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo mengatakan, dominasi dolar AS dalam perdagangan internasional memang sedang menghadapi tantangan dari aliansi ekonomi BRICS. Salah satu langkah konkret yang diambil oleh BRICS adalah mendorong penggunaan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan antar negara anggota. Namun demikian, Sutopo melihat, persentase transaksi menggunakan mata uang tanpa dolar AS masih sangat kecil. Sehingga, posisi dolar AS masih sangat sulit untuk diruntuhkan.
Data International Monetary Fund (IMF) menunjukkan, porsi dolar AS sebesar 58,4% sebagai cadangan devisa (cadev) secara global per kuartal kedua 2024.
Di pasar valuta asing (valas), dolar AS juga terlibat dalam hampir 90% dari seluruh transaksi. Baca Juga: Rupiah Hari Ini (31/10) Menguat Tipis Terhadap Dolar AS, Simak Proyeksi Untuk Besok Sutopo berujar, meskipun BRICS dapat mengurangi ketergantungan pada dolar AS, menggantikan dominasi dolar sepenuhnya akan memerlukan waktu dan upaya yang besar. Sejauh ini, dolar AS pun masih digunakan secara luas dengan lebih dari 80% dalam perdagangan dunia dan menjadi cadangan devisa utama bagi banyak negara. "Masih butuh proses yang lumayan panjang untuk bisa mengalahkan dolar. Seperti yang kita lihat, mata uang euro yang dibentuk Uni Eropa saja belum bisa mengalahkan dolar AS," kata Sutopo kepada Kontan.co.id, Kamis (31/10). Untuk diketahui, BRICS adalah organisasi antar pemerintah yang awalnya digagas oleh Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Kini anggota BRICS telah bertambah menjadi 10 negara dengan kehadiran Iran, Mesir, Etiopia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA). BRICS belum lama ini menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-16 yang diadakan di Kota Kazan, Rusia, pada 22-24 Oktober 2024. Salah satu tujuan jangka panjang BRICS adalah mengurangi ketergantungan dolar AS dengan potensi menerbitkan mata uang khusus untuk transaksi internasional.
Baca Juga: Rupiah Jisdor Menguat 0,17% ke Rp 15.705 Per Dolar AS Pada Kamis 31 Oktober 2024 Indonesia bahkan menunjukkan ketertarikan untuk bergabung menjadi anggota BRICS yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Sugiono pada KTT BRICS ke-16 tersebut. Indonesia juga sudah sering melakukan transaksi mata uang lokal dalam perdagangan internasional. Brasil, India, dan Arab Saudi merupakan negara-negara yang terus mendorong pembentukan mata uang BRICS.
Namun Rusia sebagai ketua umum masih belum mengungkapkan adanya mata uang khusus tersebut karena butuh proses dan waktu yang panjang. Sutopo mencermati, BRICS memang sedang menjajaki kemungkinan untuk memperkenalkan mata uang baru.
Hanya saja, ide untuk menerbitkan mata uang BRICS masih menghadapi banyak tantangan teknis dan koordinasi antar negara anggota. Di samping itu, terdapat opsi bahwa Chinese Yuan (CNY) atau Renmibi yang bakal didorong untuk mengalahkan dominasi dolar AS.
Hal itu karena melihat posisi Renmibi paling kuat diantara negara-negara anggota BRICS. Baca Juga: Penerbitan Sukuk Masih Minim, BI: Underlying Terbatas Terlepas dari kemungkinan tersebut, Sutopo berpendapat, apabila sudah banyak negara yang mengurangi penggunaan dolar AS, maka permintaan terhadap dolar tentunya akan menurun. Pada akhirnya, dedolarisasi dapat menyebabkan depresiasi nilai tukar dolar AS di masa mendatang. "Negara-negara yang mengurangi ketergantungan pada dolar AS bakal memiliki ekonomi yang lebih stabil. Sebab, melepas dolar AS akan terhindarkan dari volatilitas nilai tukar dolar dan kebijakan moneter Amerika," tutur Sutopo. Secara fundamental, Sutopo mengamati bahwa dolar AS tengah dihadapkan pada tren pemangkasan suku bunga acuan. Federal Reserve (The Fed) bakal bertemu dalam FOMC yang akan digelar pada 6-7 November mendatang. Pemangkasan suku bunga Fed dipandang negatif untuk prospek dolar AS. Hal itu karena turunnya suku bunga bakal menyebabkan imbal hasil dari aset-aset berbasis dolar seperti obligasi dan US Treasury juga menurun.
Pada akhirnya, daya tarik investasi di AS berkurang bagi investor global yang mencari imbal hasil tinggi. Baca Juga: ADB: Perubahan Iklim Berpotensi Turunkan PDB Negara Berkembang Hingga 17% pada 2070 Pengamat Mata Uang dan Komoditas Lukman Leong turut berpandangan bahwa menerbitkan mata uang baru bakal rumit layaknya Euro (EUR). Dimana, negara-negara pengguna mata uang tersebut mesti memiliki kebijakan moneter yang sejalan. Menurut Lukman, ketergantungan transaksi internasional menggunakan dolar AS mungkin bakal berkurang. Akan tetapi, hal itu mungkin bakal terjadi secara bertahap dan bukan berarti dolar AS akan melemah signifikan seiring berkurangnya pemanfaatan dolar dalam transaksi antar negara. "Faktor fundamental masing-masing negara masih akan lebih berperan pada prospek mata uang," imbuh Lukman saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (31/10). Lukman meyakini bakal butuh waktu lama untuk mengalahkan dominasi dolar AS. Dia mencontohkan, penurunan porsi dolar AS sebagai cadev global hanya turun sebesar 6% sejak tahun 2016 menjadi sekitar 59% saat ini. Sedangkan, porsi Poundsterling (GBP), Japanese Yen (JPY) ataupun Euro tidak banyak berubah. Hanya CNY saja yang porsinya bagi cadev sekitar 2,4%.
Baca Juga: Harga Emas Terus Naik Menggapai Rekor Tertinggi Sementara itu, Lukman menilai dolar AS masih akan cukup tangguh, walau menghadapi potensi dipangkasnya suku bunga acuan. Sebab, bukan hanya bank sentral AS, namun bank sentral utama lainnya juga melakukan pemotongan suku bunga seperti Uni Eropa dan Inggris. Dengan kondisi tersebut, Lukman melihat, dolar AS masih akan kuat setidaknya indeks dolar bakal berada di kisaran 108 -110.
Potensi penguatan dolar AS ini artinya juga membuka peluang menarik untuk trading USD. Lukman masih memandang pasangan mata uang USDJPY paling menarik untuk ditransaksikan. Yen Jepang saat ini berada di level sangat murah dan divergensi suku bunga akan mulai mengecil tahun depan.
Selain itu, potensi upside Yen cukup besar karena adanya Carry Trade. "Apabila pemerintahan baru terbentuk, Bank sentral Jepang (BoJ) akan bisa lebih agresif menaikkan suku bunga lebih cepat," ucap Lukman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati