Aliasi Masyarakat Tembakau Sebut RUU Kesehatan Jadi Regulasi Diskriminatif



KONTAN.CO.ID - Rancangan Undang-Undang atau RUU Kesehatan kian jadi sorotan di tengah masyarakat. Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menilai polemik yang terjadi saat ini tak terlepas dari substansi regulasi itu.

Menurut AMTI, substansi RUU Kesehatan atau Omnibus Law Kesehatan tidak sepenuhnya mengakomodir hak-hak masyarakat untuk memperoleh layanan kesehatan yang berkualitas, adil, dan tanpa diskriminasi.

Sebagai salah satu pemangku kepentingan di sektor pertembakauan yang turut diregulasi dalam RUU Kesehatan, AMTI melihat, calon beleid ini rentan mengancam keberlangsungan ekosistem pertembakauan. Khususnya, terkait pengaturan zat adiktif.


"Sejak awal, elemen ekosistem pertembakauan sebagai bagian dari masyarakat tidak diakomodir suaranya untuk memberikan masukan terkait RUU Kesehatan," kata Hananto Wibisono, Sekjen AMTI, dalam Diskusi Media Mengawal Rancangan Regulasi yang Eksesif dan Diskriminatif Terhadap Ekosistem Pertembakauan, Rabu (12/4).

"RUU Kesehatan ini dibuat dengan sangat eksesif dan diskriminatif terhadap elemen hulu hingga hilir ekosistem pertembakauan," ujarnya.

Baca Juga: Ekosistem Tembakau Menilai Proses Revisi PP No 109/2012 Tidak Sesuai Aturan

Secara substansi, Pasal 154 RUU Kesehatan mengenai pengaturan zat adiktif, menurut Hananto, tembakau diposisikan sejajar dalam satu kelompok dengan narkotika dan psikotropika.

Padahal, bagi Hananto, tembakau sebagai komoditas strategis nasional adalah produk legal yang memberikan kontribusi serta sumbangsih signifikan terhadap penerimaan negara.

"Tembakau, produknya, aktivitas pekerjanya, semuanya adalah legal. Tembakau telah berkontribusi nyata terhadap pembangunan negeri ini tapi dalam RUU Kesehatan justru diperlakukan seperti narkoba," tegas dia.

"Ini adalah ketidakadilan dan diskriminasi. Harapan kami, wakil rakyat, DPR RI, dapat membantu mengawal RUU Kesehatan dengan sebenar-benarnya dan seadil-adlinya," imbuhnya.

Tembakau, Hananto menyebutkan, sejak lama telah menjadi andalan masyarakat sebagai penopang hidup. Ada 6 juta tenaga kerja, mulai dari sektor perkebunan, manufaktur, hingga industri kreatif yang bergantung pada ekosistem pertembakauan.

"Lagi-lagi dalam proses perumusan regulasi, pemangku kepentingan pertembakauan tidak pernah dilibatkan. Tentu saja, situasi ini menyakiti jutaan jiwa yang menggantungkan penghidupannya dalam ekosistem pertembakauan," sebutnya.

Baca Juga: Cukai Rokok Bakal Naik 10%, AMTI Soroti Nasib Pekerja Sektor IHT

Dari sudut pandang hukum, Ali Rido, dosen Ilmu Hukum Universitas Trisakti, menilai, Pasal 154 dalam RUU Omnibus Law Kesehatan seharusnya fokus mengatur tembakau dalam ranahnya sendiri.

"Pengaturan harusnya dibedakan karena kandungan nikotin dalam tembakau tidak sama dengan zat adiktif narkoba. Saya melihat, RUU Kesehatan mendorong, memuluskan jalan untuk penghapusan penggunaan tembakau secara perlahan,” paparnya.

Pendapat pemerintah dalam Putusan MK No. 34/PUU-VIII/2010 yang menegaskan pengaturan tembakau dan produk yang mengandung tembakau, dia bilang, bertujuan untuk melakukan pengamanan atas konsumsinya, bukan menghilangkan tembakau atau produk yang mengandung tembakau.

"UU hanya melakukan pengamanan dan perlindungan kesehatan, bukan pelarangan," ungkap Ali Rido.

Ia juga menegaskan, berlandaskan Putusan MK No. 6/PUU-VII/2009 nikotin terletak sejajar dengan kafein dan tidak sama tingkatnya dengan opium, kokain, ganja, halosinogen, ataupun macam-macam zat se-adiktif hipnotik.

Sehingga, dilihat dari sisi adiktifnya, pengaturan mengenai rokok tidak pernah disetarakan dengan pengaturan mengenai narkotika dan obat-obatan terlarang. Kopi, teh, dan cokelat yang mengandung kafein juga merupakan zat adiktif.

Baca Juga: Sejumlah kalangan meminta pemerintah tidak merevisi aturan rokok

Selain Pasal 154, AMTI memandang, Pasal 157 RUU Kesehatan mengenai kawasan tanpa rokok (KTR) juga sangat eksesif. 

"Di dalam Pasal 157 ayat  2 dan 3 terkait kawasan tanpa rokok, menekankan bahwa pemerintah daerah wajib menerapkan KTR.  Kata wajib tersebut erat kaitannya dengan implikasi yuridis (pengaturan dan penerapan sanksi) atas penerapan KTR itu sendiri," ucap Hananto.

Terhadap substansi terkait KTR tersebut, Ali Rido juga menilai penekanan utama terkait sanksi hanya ditujukan pada perokok. Bukan pada instansi yang gagal atau tidak menerapkan KTR.

"Sanksi pidana hanya menyasar perokok. Lalu, bagaimana dengan pengelola, penyelenggara, atau penanggungjawab tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya yang tidak menyediakan tempat khusus merokok? Mereka tidak dikenakan sanksi," sebutnya.

"Ini justru menunjukkan sanksi berlebihan dan tidak sejalan dengan penentuan sanksi pidana dengan Modified Delphi Method yang dianut KUHP baru," tambah Ali Rido.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Jane Aprilyani