KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tantangan perekonomian ke depan semakin berat. Indonesia menghadapi ancaman
capital outflow yang masif dan berpotensi makin melemahkan posisi rupiah. Dari pasar saham, sejak awal tahun hingga kemarin (ytd), investor asing sudah mencatatkan penjualan bersih
(net sell) senilai Rp 45 triliun di Bursa Efek Indonesia. Di periode yang sama, rupiah menyusut hampir 4%. Ancaman penurunan rupiah makin besar pasca The Fed menaikkan suku bunga jadi 1,75%-2%. Plus, ada sentimen negatif perang dagang. Di dua hari perdagangan pasca libur lebaran saja, asing sudah mencetak
net sell Rp 4,49 triliun di bursa saham.
Selama ini, kekuatan rupiah nyaris hanya hanya mengandalkan intervensi Bank Indonesia (BI). Persoalannya, biaya intervensi pasar keuangan itu mahal. Jangan lupa, Mei lalu cadangan devisa Indonesia turun menjadi US$ 122,91 miliar dari US$ 124,86 miliar di bulan sebelumnya. Nah, ada cara yang lebih cepat untuk menarik devisa, sekaligus menghemat cadangan devisa dan pada gilirannya menguatkan rupiah. Salah satunya adalah segera menghilangkan hambatan rencana investasi baru maupun komitmen investasi lama, termasuk
foreign direct investment atau FDI (
Baca Harian KONTAN, Kamis 21 Juni 2018). Sebagai contoh, Freeport Indonesia sempat menjanjikan investasi sekitar US$ 20 miliar untuk proyek tambang bawah tanah di Papua. Tapi, rencana itu terhambat lantaran disibukkan oleh urusan divestasi 51% saham Freeport. Begitu pula agenda investasi super jumbo proyek migas perusahaan minyak raksasa dunia. Entah itu pengembangan proyek migas laut dalam milik Chevron, hingga agenda investasi Blok Masela. Sayang, proyek investasi bernilai puluhan miliar dollar itu tersendat akibat regulasi pemerintah yang tak jelas, maupun urusan politis. Padahal jika semuanya terealisasi, niscaya aliran devisa tidak jadi soal lagi. Modal ini penting untuk menopang rupiah dan fundamental makroekonomi Indonesia, di tengah fluktuasi pasar keuangan. Kepala Ekonom Bank CIMB Niaga Adrian Panggabean mengungkapkan, tak ada cara instan untuk mempercepat penguatan rupiah. Termasuk dengan menarik potensi dana investasi asing. "Kalau perjanjiannya belum
deal, bagaimana bisa ditarik lebih dulu investasinya? Apa perjanjian bisa langsung beres? Enggak bisa," kata dia, kemarin. Adrian menilai, menarik dollar AS di BUMN untuk menghimpun cadangan devisa secara cepat sulit dilakukan karena BUMN juga membutuhkan dollar AS. "Memacu ekspor paling tepat, tapi ini juga bukan jaminan bisa cepat dilakukan," kata Adrian kepada Kontan.co.id, kemarin. Pengamat pasar valuta Farial Anwar mengungkapkan, butuh strategi jangka panjang dan jangka pendek untuk memperkuat nilai tukar rupiah. Menurut dia, devisa Indonesia saat ini sudah bergerak cukup liar, sehingga perlu ada pengendalian devisa atau
holding period. "
Net sell bulan ini saja sudah sampai triliunan. Butuh strategi untuk membuat Indonesia menjadi sumber ekonomi yang menarik bagi investasi," kata dia kepada Kontan.co.id, kemarin. Jika pemerintah berkomitmen menerapkan
holding period, sumber devisa negara bisa tumbuh lagi. "Dana yang masuk tak mudah keluar dan pergi. Pemerintah bisa mengantisipasi dan menghitung potensi
capital outflow ke depan," ungkap Farial.
Kebijakan
holding period juga bisa diterapkan pada transaksi di pasar saham maupun obligasi. Seperti halnya eksportir yang menyimpan devisa hasil ekspor di perbankan Tanah Air. "Itu bisa diterapkan sekarang sebelum terlambat. Jangan sampai rupiah dibiarkan terombang ambing sampai level Rp 15.000 per dolar AS," ujar Farial. Direktur dan Kepala Makroekonomi Bahana TCW Management Budi Hikmat menambahkan, untuk mempertahankan stabilitas makro, pemerintah perlu meredam risiko
currency, termasuk memperbaiki peringkat utang. BI juga bisa menaikkan lagi bunga acuan. "Ini salah satu cara intervensi BI, apalagi cadangan devisa kita sudah banyak keluar," kata Budi. Kepala Riset BNI Sekuritas Norico Gaman berpendapat, kepastian hukum bisa mendatangkan FDI dalam jangka panjang. "Kemudian, kemudahan izin sehingga memperlancar rencana investasi dan tidak memerlukan waktu yang lama," tutur dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati