JAKARTA. Meninggalnya Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Wamen ESDM), Widjajono Partowidagdo tak cuma membawa duka yang mendalam bagi keluarganya. Tetapi sekaligus bagi bangsa Indonesia. Sebelum menjadi Wamen ESDM, ia merupakan pakar perminyakan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia dikenal memiliki keberanian dalam menyatakan pendapat tentang sektor energi. Walaupun, pemikiran tersebut dinilai tidak populer di mata masyarakat. "Misalnya soal BBM, beliau getol memperjuangkan pengurangan penggunaan BBM, salah satu caranya dengan menaikkan harga," tutur Deputi Pengendalian Operasi Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Rudi Rubiandini. Rudi adalah kolega Widjajono di Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB. Sebelum bergabung di birokasi, keduanya dikenal sebagai pakar perminyakan Indonesia. Widjajono memang dikenal selalu “off side” dalam melemparkan isu kenaikan harga BBM. Di saat pemerintah masih berwacana soal pengendalian konsumsi BBM beberapa waktu lalu, Widjajono sudah lebih dahulu mengusulkan kenaikan harga BBM sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan bangsa Indonesia pada BBM. Menurut beberapa sumber di pemerintahan, Widjajono sering mendapat teguran dari atasannya di kabinet lantaran sikap “off side" itu. Namun, menurut kesaksian Rudi Rubiandini, sikap seperti itu sudah melekat dalam diri Widjajono sejak menjadi dosen di ITB. "Dia berani menyatakan pendapat, selama dia yakin itu benar, sekalipun bertentangan dengan penguasa,” ujar Rudi. Widjajono kata Rudi bercita-cita agar negara ini melepaskan ketergantungannya pada bahan bakar minyak. "Karena itu dia mendorong penggunaan energi baru dan terbarukan,"ujarnya. Apa yang dikatakan Rudi bukan sekadar pujian belaka. Dalam sebuah artikel yang disampaikan Widjajono kepada wartawan beberapa waktu lalu, saat isu kenaikan menjadi isu panas, dia dengan tegas mengatakan Indonesia harus mengurangi ketergantungan pada BBM karena Indonesia bukanlah negara penghasil minyak. Mari kita kilas balik Pemikiran Pak Wid, panggilan akrab Widjajono sewaktu hidup, masih melekat. Salah satunya adalah cara melepaskan ketergantungan pada BBM yakni mengurangi subsidi BBM. Tahun 2011 lalu, kata dia, subsidi harga BBM untuk transportasi dan LPG adalah Rp 165 triliun dan subsidi untuk listrik (yang sebagian besar diakibatkan oleh BBM) Rp 66 triliun, sehingga totalnya Rp 231 triliun, padahal pendapatan pemerintah dari migas Rp 272 triliun. "Lebih baik subsidi harga BBM tersebut digunakan untuk membuat orang-orang miskin menjadi lebih sejahtera, pedesaan dan daerah lebih maju, infrastruktur lebih baik dan kemampuan nasional meningkat sehingga kita bisa lebih mandiri (produksi migas dan tambang, pertanian, pesawat, mobil, kapal, kereta api, senjata Nasional meningkat) dan Indonesia lebih cepat menjadi negara maju yang Terpandang,"ujarnya.
Saat rakyat di Nigeria sedang bergejolak karena pemerintahnya mencabut subsidi BBM, Widjajono mengingatkan jangan membandingkan Indonesia dengan Nigeria. Cadangan minyak terbukti Nigeria 36 miliar barel dan Indonesia 3,7 miliar barel, produksi minyak Nigeria 2,6 juta barel per hari sedang Indonesia 0,9 juta barel per hari, penduduk Nigeria 136 juta dan Indonesia 241 juta sehingga konsumsi minyak Nigeria diperkirakan 0,65 juta barel per hari dan Indonesia 1,3 juta barel per hari. "Jadi, kalau penduduk Nigeria protes harga BBM dinaikkan maka wajar saja karena Nigeria kaya minyak. Hanya negara yang kaya minyak seperti Saudi dan Venezuela BBM nya murah sekali. Produksi minyak Indonesia 2011 adalah 902 ribu barel per hari, ekspornya 361 ribu barel per hari dan Impor minyak 272 ribu barel per hari dan BBM 499 ribu barel per hari. Mengimpor (Minyak dan BBM) 771 ribu barel per hari menunjukkan bahwa kita tidak kaya minyak, padahal minyak adalah energi yang paling mahal. Orang yang tidak kaya tetapi memakai barang mahal pasti hidupnya susah,” tegas Widjajono.