Alokasi dana cukai rokok salah sasaran di daerah



JAKARTA. Praktik penyimpangan penyaluran alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) marak terjadi di beberapa daerah. Praktik penyaluran alokasi DBHCHT telah bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan(Permenkeu) Nomor 84 Tahun 2008 tentang Penggunaan DBHCHT dan Sanksi atas Penyalahgunaan Alokasi DBHCHT.

Catatan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Tim Peneliti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Indonesia Berdikari. Penelitian ditujukan di lima provinsi dan 10 kabupaten penerima DBHCHT terbesar setiap tahunnya. Jumlah narasumber yang diwawancarai secara mendalam berjumlah 53 orang serta penelitian berlangsung sepanjang Februari 2013 lalu.

Koordinator Peneliti Indonesia Berdikari, Gugun El Guyanie, mengatakan, alokasi DBHCHT memiliki banyak permasalahan dan menyebabkan petani tembakau tidak mendapatkan manfaat secara maksimal. "Dalam praktik alokasi terdapat banyak kekurangan sehingga pemerintah harus meningkatkan pengawasannya," ujarnya dalam Acara Diskusi Ironi Cukai Tembakau di Gedung Dewan Pers, Kamis (13/6).


Menurut Gugun, alokasi DBHCHT lebih banyak kepada program lingkungan sosial yang berdasar atas sektor kesehatan. Ia menilai, sektor kesehatan yang tidak bersentuhan langsung dengan aktifitas produksi produk tembakau seharusnya tidak menjadi mayoritas tujuan alokasi.

"Dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemkes) menekan Dinas-Dinas kesehatan di daerah untuk memanfaatkan DBHCHT. Terkadang tujuan alokasi juga untuk program penanganan kasus HIV AIDS dan Keluarga Berencana (KB) yang tidak memiliki hubungan," ujarnya.

Sebagai contoh, untuk Provinsi Jawa Timur menerima DBHCHT tahun 2012 sebesar Rp 241,89 miliar. Porsi terbesar dana tersebut digunakan utuk pembinaan lingkungan sosasl sebesar 68,99%, baru kemudian pembinaan industri 13,34%, peningkatan kualitas bahan baku 13,33%, sosialisasi ketentuan cukai 3,53%, dan pemberantasan cukai ilegal 0,81%.

Sedangkan, untuk Provinsi Jawa Tengah menerima DBHCHT tahun 2012 sebesar Rp 105,98 miliar. Porsi terbesar digunakan untuk pembinaan lingkungan sosial sebesar 64,34%, peningkatan kualitas bahan baku 26,6%, pembinaan industri 6,04%, dan sosialisasi ketentuan cukai 3,02%.

Gugun mengatakan, seharusnya mayoritas atau porsi terbesar alokasi DBHCHT ditujukan untuk peningkatan kualitas bahan baku. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas produk tembakau para petani dan langsung mengena untuk kesejahteraan petani. "Pemerintah tampaknya juga ingin menekan petani dengan menerapkan kebijakan diversifikasi lahan tembakau ke lahan produk pertanian lainnya," ujarnya.

Dia juga heran, kebijakan anggaran DBHCHT yang hanya sebesar 2% dari total penerimaan cukai tembakau setiap tahunnya. "Kenapa hanya 2% ?, sedangkan sisanya sebesar 98% juga tidak dijelaskan ditujukan untuk apa," tanya Gugun.

Gugun menambahkan, pemerintah harus mengubah posisi pemimpin dan pengawas alokasi DBHCHT dari Kementerian Keuangan (Kemkeu) kepada Kementerian Perindustrian (Kemperin). Ia beralasan, DBHCHT berasal dari cukai yang diperoleh dari industri sehingga Kemenperin lebih mengenal situasi industri hasil tembakau.

Selain itu, lanjut dia, harus dilakukan revisi Pasal 14 Permenkeu Nomor 84/2008 tentang Sanksi Penyalahgunaan DBHCHT yang hanya berupa sanksi administratif saja. Seharusnya, sanksi penyalahgunaan DBHCHT berupa sanksi pidana agar menimbulkan efek jera dibanding sanksi administratif.

Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah, Nurtantio Wisnu Brata, mengatakan, alokasi DBHCHT tidak sesuai dengan harapan para petani. "Alokasi untuk kesejahteraan para petani sangat kecil," ujarnya.

Menurut Nurtantio, di lapangan para petani malah ditawarkan untuk menutup lahan pertanian tembakau dan pindah ke komoditas lainnya. "Pemerintah menawarkan pemberian ternak atau teknologi pertanian bagi petani yang ingin mengganti lahan utamanya selain tembakau," ungkapnya.

Seharusnya, imbuh dia, pemerintah menetapkan secara langsung porsi yang ideal untuk setiap program alokasi DBHCHT seperti peningkatan kualitas bahan baku dan pembinaan lingkungan. Sehingga tidak terjadi multi tafsir dalam pemanfaatan DBHCHT yang ideal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan