JAKARTA. Peraturan Pemerintah terkait Jaminan Pensiun terancam mundur. Soalnya, perdebatan mengenai besaran iuran jaminan pensiun yang dipungut oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan masih memanas. Rancangan PP ini telah disampaikan dan sejatinya diperkirakan akan meluncur sebagai PP bulan ini juga. Sumber KONTAN yang ikut dalam Rapat Koordinasi Jaminan Pensiun, Jumat (8/5) lalu, menyebut, Menteri Koordinator Perekonomian menolak iuran jaminan pensiun sebesar 8% yang dicantumkan dalam RPP Jaminan Pensiun. "Pak Menko minta dalam tiga hari ke depan harus ada angka," tutur dia, akhir pekan lalu. Rakor Jaminan Pensiun digelar sejak pukul 9-12.50 WIB dan dihadiri oleh pimpinan dari sejumlah lembaga negara, seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Kementerian Keuangan, Kemkumham, Kemenakertrans, Bapenas, DJSN, OJK, BPJS Ketenagakerjaan, Apindo, Asosiasi Dana Pensiun Indonesia, dan Perkumpulan Dana Pensiun Lembaga Keuangan. Dalam Rakor itu, masih menurut sumber KONTAN yang enggan disebutkan namanya, semua pihak sepakat memberlakukan program jaminan pensiun mulai 1 Juli 2015 nanti. Namun, besaran iuran yang diusulkan dalam RPP tidak sebesar 8%. "Pak Menaker sendiri terserah angkanya, yang penting bisa implementasi 1 Juli 2015 dan memberi manfaat bagi pekerja," terang dia. Nur Hasan Kurniawan, Wakil Ketua Umum Perkumpulan DPLK mengatakan, pihaknya juga ikut dalam Rakor Jaminan Pensiun di kantor Menko. Dalam rapat, angka yang dihitung Kemenkeu dibawah 2%. Sementara, Apindo mendesak ke 1,5%. DPLK dan ADPI sendiri sepakat agar iurannya dibawah 2%. Menurut dia, iuran jaminan hari tua sebesar 5,7% dan sudah berlangsung sejak tahun 1992 saja belum diikuti oleh seluruh pemberi kerja. "Apalagi dengan tambahan iuran baru sebesar 8%. Pemberi kerja dan pekerja yang belum pernah mengiur jaminan hari tua langsung kaget dengan iuran 13,7%," ujarnya. Bambang Purwoko, Anggota DJSN menambahkan, perhitungan iuran jaminan pensiun 8% bukan tak berdasar. Melihat manfaatnya, angka itu mampu memenuhi 33% dari Tingkat Penghasilan Pensiun (TPP). Memang, angka itu pun masih jauh dari rekomendasi International Labour Organization yang sebesar 40%. Namun, lanjut dia, rancangannya akan terjadi penyesuaian iuran setiap tiga tahun. 8% pada tahun 2015, 10% pada tahun 2018, 12% pada tahun 2021 dan 14% pada tahun 2024, serta 16% pada tahun 2027 untuk mencapai TPP sebesar 64%. "Iuran sebesar 8% ini bukan asal-asalan dan sudah berdasarkan hitung-hitungan," imbuh Purwoko. Timbul Siregar, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia menuturkan, pihaknya mendesak pemerintah untuk segere meneken RPP Jaminan Pensiun untuk menjadi PP. Soalnya, penerapan program kesejahteraan purna pekerja tersebut dijadwalkan akan berlaku pada 1 Juli 2015. "Jadi, kami mendesak ini ditandatangani segera," pungkasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Alot, PP jaminan pensiun terancam mundur
JAKARTA. Peraturan Pemerintah terkait Jaminan Pensiun terancam mundur. Soalnya, perdebatan mengenai besaran iuran jaminan pensiun yang dipungut oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan masih memanas. Rancangan PP ini telah disampaikan dan sejatinya diperkirakan akan meluncur sebagai PP bulan ini juga. Sumber KONTAN yang ikut dalam Rapat Koordinasi Jaminan Pensiun, Jumat (8/5) lalu, menyebut, Menteri Koordinator Perekonomian menolak iuran jaminan pensiun sebesar 8% yang dicantumkan dalam RPP Jaminan Pensiun. "Pak Menko minta dalam tiga hari ke depan harus ada angka," tutur dia, akhir pekan lalu. Rakor Jaminan Pensiun digelar sejak pukul 9-12.50 WIB dan dihadiri oleh pimpinan dari sejumlah lembaga negara, seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Kementerian Keuangan, Kemkumham, Kemenakertrans, Bapenas, DJSN, OJK, BPJS Ketenagakerjaan, Apindo, Asosiasi Dana Pensiun Indonesia, dan Perkumpulan Dana Pensiun Lembaga Keuangan. Dalam Rakor itu, masih menurut sumber KONTAN yang enggan disebutkan namanya, semua pihak sepakat memberlakukan program jaminan pensiun mulai 1 Juli 2015 nanti. Namun, besaran iuran yang diusulkan dalam RPP tidak sebesar 8%. "Pak Menaker sendiri terserah angkanya, yang penting bisa implementasi 1 Juli 2015 dan memberi manfaat bagi pekerja," terang dia. Nur Hasan Kurniawan, Wakil Ketua Umum Perkumpulan DPLK mengatakan, pihaknya juga ikut dalam Rakor Jaminan Pensiun di kantor Menko. Dalam rapat, angka yang dihitung Kemenkeu dibawah 2%. Sementara, Apindo mendesak ke 1,5%. DPLK dan ADPI sendiri sepakat agar iurannya dibawah 2%. Menurut dia, iuran jaminan hari tua sebesar 5,7% dan sudah berlangsung sejak tahun 1992 saja belum diikuti oleh seluruh pemberi kerja. "Apalagi dengan tambahan iuran baru sebesar 8%. Pemberi kerja dan pekerja yang belum pernah mengiur jaminan hari tua langsung kaget dengan iuran 13,7%," ujarnya. Bambang Purwoko, Anggota DJSN menambahkan, perhitungan iuran jaminan pensiun 8% bukan tak berdasar. Melihat manfaatnya, angka itu mampu memenuhi 33% dari Tingkat Penghasilan Pensiun (TPP). Memang, angka itu pun masih jauh dari rekomendasi International Labour Organization yang sebesar 40%. Namun, lanjut dia, rancangannya akan terjadi penyesuaian iuran setiap tiga tahun. 8% pada tahun 2015, 10% pada tahun 2018, 12% pada tahun 2021 dan 14% pada tahun 2024, serta 16% pada tahun 2027 untuk mencapai TPP sebesar 64%. "Iuran sebesar 8% ini bukan asal-asalan dan sudah berdasarkan hitung-hitungan," imbuh Purwoko. Timbul Siregar, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia menuturkan, pihaknya mendesak pemerintah untuk segere meneken RPP Jaminan Pensiun untuk menjadi PP. Soalnya, penerapan program kesejahteraan purna pekerja tersebut dijadwalkan akan berlaku pada 1 Juli 2015. "Jadi, kami mendesak ini ditandatangani segera," pungkasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News