Alternatif investasi reksadana pendapatan tetap



JAKARTA. Koreksi yang terjadi pasar saham membuat kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG) sepanjang tahun ini negatif. Di tengah kondisi seperti itu, reksadana pendapatan tetap bisa menjadi alternatif investasi. Sejumlah produk reksadana pendapatan tetap anyar yang mungkin bisa menjadi pilihan investor siap terbit tahun ini. PT BNI Asset Management, misalnya berencana menerbitkan dua produk berbasis obligasi ini. Hanif Mantiq, Senior Fund Manager BNI Asset Management mengatakan dua produk tersebut akan membagikan return bulanan. Kebijakan tersebut diklaim akan menguntungkan bagi investor yang menginginkan imbal hasil tetap dan lebih pasti.

Menurut Hanif, produk ini membidik investor usia sekitar 50 tahun atau 55 tahun. "Selama ini investor mengeluh apabila ingin merealisasikan keuntungan, maka dana kelolaan reksadana akan terkena imbas dan mengalami penurunan. Dengan return bulanan, dana kelolaan reksadana tidak akan bergerak," kata Hanif, Jakarta. Hanif membeberkan return bulanan akan diperoleh dari kupon yang dibagikan oleh obligasi yang menjadi aset dasar. Nantinya, salah satu produk akan berisi reksadana korporasi. Agar mampu membagikan return bulanan, produk ini akan mengoleksi sekitar empat obligasi korporasi. "Kami akan mengambil oblligasi korporasi dengan kupon menarik. Dari obligasi korporasi, akan kami kemas ke ritel," ucap Hanif. Sedangkan produk lainnya akan berisi obligasi pemerintah. Selain return bulanan, investor juga akan memperoleh keuntungan dari kenaikan harga obligasi atau capital gain. Perusahaan akan memanfaatkan fluktuasi pasar obligasi untuk mengerek capital gain. Infonesia Bond Pricing Agency (IBPA) mencatat rata-rata return obligasi yang ditunjukkan oleh INDOBex Composite Total Return minus 2,7% dalam satu bulan terakhir per 6 Mei 2015. Dalam periode tersebut, indeks tertinggi berada di level 187.104 dan indeks terendah sekitar 181.298. Hanif menyebut kekecewaan investor terhadap tetapnya peringkat utang Indonesia yang disematkan oleh standard & poor's (S&P) menjadi salah satu pemicu tekanan pasar obligasi. "Investor kecewa karena S&P batal memberikan peringkat investment grade kepada Indonesia seperti prediksi," kata dia. Dia memperkirakan investor asing kemudian lari ke Asia Utara seperti Korea Selatan dan Tiongkok. Pasar modal Korea Selatan sebagai negara importir utama bahan bakar minyak (BBM) diuntungkan oleh turunnya harga minyak dunia. Sedangkan Tiongkok tengah bullish seiring kebijakan stimulus. Direktur BNI Asset Management Isbono mengatakan pihaknya menargetkan dana kelolaan perusahaan mencapai Rp 14,7 triliun hingga Rp 15 triliun tahun ini. Nilai tersebut naik dibandingkan saat ini yang Rp 10,3 triliun. PT Schroder Investment Management Indonesia juga menawarkan tiga reksadana pendapatan tetap. Direktur Utama Schroder Investment Management Indonesia Michael T. Tjoajadi mengatakan satu produk diluncurkan April lalu dan berisi surat utang negara (SUN) bertenor panjang. "Sedangkan untuk dua produk lainnya akan diluncurkan pada Mei dan Juni," kata Michael. Dua produk ini masing-masing akan mengambil aset dasar SUN bertenor menengah serta campuran antara SUN dan obligasi korporasi. Michael optimistis produk ini masih akan memberikan return tinggi kepada investor. Kinerja reksadana tersebut akan ditopang oleh melandainya inflasi sehingga suku bunga acuan Bank Indonesia atau (BI rate) juga akan turun. Dampaknya, pasar obligasi yang menjadi aset dasar akan mengalami kenaikan. "Tahun ini memang akan ada sentimen global terkait kebijakan penyesuaian suku bunga bank sentral AS,the Fed. Namun, sentimen tersebut akan tercover oleh inflasi Indonesia yang turun," ujar dia. Michael memperkirakan reksadana pendapatan tetap dengan aset dasar campuran SUN dan obligasi korporasi akan membagikan return lebih tinggi ketimbang dua produk lainnya. Pasalnya, obligasi korporasi menawarkan kupon yang lebih tinggi dibandingkan SUN. "Besaran return akan dipengaruhi oleh durasi SUN yang menjadi blanded produk tersebut," kata dia. Sebelumnya PT First State Investments Indonesia (FSI) telah lebih dahulu menerbitkan reksadana pendapatan tetap. Eli Djurfanto, Head of Fixed Income FSI mengatakan produk ini memiliki aset dasar obligasi berjangka waktu pendek. Eli mengaku memanfaatkan volatilitas pasar untuk trading. Pihaknya menerapkan strategi trading dengan target durasi sekitar 2 hingga 2,5. Eli menghitung strategi trading akan menambah keuntungan reksadana. Misalnya, obligasi pemerintah dengan tenor dua tahun hanya memberikan imbal hasil 7%. Setelah dikutip pajak bunga obligasi di reksadana sebesar 5% dan biaya lainnya sekitar 1,5%, maka investor hanya akan mengantongi keuntungan sekitar 5,5% per tahun. Keuntungan tersebut mempertimbangkan apabila obligasi hanya digenggam hingga jatuh tempo. "Namun dengan trading, kami memperkirakan produk baru ini bisa memberikan return sekitar 7% hingga 7,5% per tahun," ujar Eli. Eli memperkirakan pasar obligasi masih akan mengalami volatilitas. Penopangnya, banjirnya likuiditas akibat kebijakan bank sentral Eropa dan Jepang yang akan berdampak pada masuknya dana asing atau capital inflow ke pasar obligasi Indonesia. Sehingga, harga obligasi ikut terangkat. Namun di sisi lain, kebijakan normalisasi suku bunga the Fed akan berdampak negatif bagi pasar. "Berbagai faktor eksternal akan saling mempengaruhi tergantung mana yang lebih kuat," ujar Eli. Dari domestik, faktor tercapainya laju inflasi sesuai target Bank Indonesia (BI), penurunan suku bunga acuan atau BI rate, positifnya pertumbuhan ekonomi serta susutnya current account deficit juga akan menggairahkan pasar obligasi. Analis Infovesta Utama Viliawati memperkirakan prospek reksadana pendapatan tetap masih menarik dengan rata-rata return secara year on year tahun ini bisa berkisar 7% hingga 8%. Kinerja produk ini akan dipengaruhi oleh turunnya inflasi serta stabilnya suku bunga. Meski demikian, kata Vilia, investor perlu mencermati potensi koreksi harga pada obligasi pemerintah pascapenguatan awal tahun ini. "Koreksi tersebut juga akan memberikan sentimen negatif pada reksadana pendapatan tetap," ujar dia. Untuk mengoptimalkan keuntungan, investor bisa berinvestasi secara berkala dengan tujuan investasi jangka menengah hingga panjang. Disamping itu, investor juga bisa top up setelah pasar obligasi terkoreksi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Uji Agung Santosa