KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FHUI) menentang keras adanya praktik pembegalan demokrasi yang secara nyata-nyata dipertontonkan secara luas beberapa hari lalu. Pertunjukan akrobat dalam proses revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang secara spontan bisa disepakati hanya dalam hitungan jam pasca diputuskannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 60/PUU-XXII/2024, merupakan fenomena nyata bagaimana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah mencederai sistem hukum nasional. Dalam Putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora terkait ambang batas pencalonan kepala daerah dalam Putusan MK.
Putusan ini menetapkan terkait persyaratan suara sah yang harus dipenuhi oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk mendaftarkan calon kepala daerah berdasarkan jumlah penduduk di wilayah tersebut. Putusan ini bertujuan memberikan kejelasan mengenai ambang batas suara sah dalam proses pencalonan. Dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan bahwa Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang (UU Pilkada), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Baca Juga: Guru Besar hingga Aktivis 1998 akan Gelar Aksi Kawal Putusan MK Hari Ini (22/8) Putusan MK ini juga mempertimbangkan bahwa syarat ambang batas perolehan suara sah untuk partai politik atau gabungan partai politik seharusnya tidak lebih tinggi dibandingkan dengan syarat untuk calon perseorangan. Maka, MK berpendapat bahwa persyaratan yang lebih tinggi untuk partai politik dapat dianggap tidak rasional dan tidak adil, mengingat calon perseorangan memiliki syarat yang lebih ringan. Ketua Umum ILUNI FHUI, Rapin Mudiardjo mengatakan, alih-alih mematuhi putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024, tidak lama berselang DPR dan Pemerintah melakukan pembahasan revisi UU Pilkada yang justru malah mengesampingkan isi dari Putusan MK dimaksud. "Praktek ini merupakan ancaman serius terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum bagi Indonesia," katanya dikutip KONTAN, Kamis (22/8/2024). Menurut Rapin, tindakan DPR dan Pemerintah yang mengesampingkan Putusan MK ini merupakan tindakan pembangkangan konstitusi. Hal ini tentu saja merupakan preseden buruk yang merusak tatanan bernegara, seakan keberadaan Putusan MK yang berkekuatan hukum tetap berdasarkan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945), hanyalah secarik tulisan tanpa makna. Pengabaian Putusan MK ini jelas-jelas merupakan cerminan buruknya supremasi hukum di Indonesia. "Tentunya, hal ini akan memiliki dampak yang sangat luas," tandasnya. Yang terang, negara dengan supremasi hukum yang buruk tentunya akan mendapat stigma negatif secara global. Indonesia berpotensi kehilangan reputasi baik di mata komunitas internasional, membuat negara-negara lain enggan menjalin kerja sama di berbagai bidang. Termasuk di bidang ekonomi yang dibutuhkan untuk mendanai berbagai mega proyek yang dikejar oleh Pemerintah di bawah kendali Presiden Joko Widodo. Jika Pemerintah sering mendengungkan keseriusannya mendatangkan calon investor dari dalam dan luar negeri, bagaimana bisa Indonesia mencapai target tersebut jika ekosistem hukum yang ditunjukkan Indonesia jauh dari nilai-nilai demokratis? "Calon investor tentunya berpikir dua kali untuk menanamkan modalnya di negara yang tidak memiliki ketidakpastian hukum, yang tentunya dapat berimbas pada terhambatnya aliran investasi dan menyebabkan instabilitas ekonomi," sesalnya. Rapin bilang, dampak dari lemahnya supremasi hukum juga akan dirasakan di berbagai lini. Ketidakpercayaan terhadap institusi hukum dapat menyebabkan disintegrasi sosial, meningkatnya kejahatan, dan keresahan di kalangan masyarakat. Selain itu, ketidakadilan yang berkelanjutan dapat memicu protes massal dan kerusuhan, yang mengancam ketertiban umum dan stabilitas nasional. Artinya, terlalu banyak yang dipertaruhkan dengan adanya proses pembegalan demokrasi ini. Hanya untuk melanggengkan kepentingan segelintir elit- elit politik di negara ini.
Baca Juga: Panja RUU Pilkada Sepakati Sejumlah Perubahan Pasal DIM Seruan untuk Melindungi Demokrasi
Supremasi hukum harus dijaga dan dipertahankan demi kelangsungan demokrasi yang sehat dan berkeadilan, demi mencapai cita-cita luhur bangsa Indonesia. Perlu dipahami, protes keras yang ILUNI FHUI layangkan ini bukan sekedar ketidakpuasan atas persiapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Tetapi ini adalah bentuk kepedulian sekaligus kekhawatiran ILUNI FHUI atas maraknya rangkaian peristiwa yang mengoyak-ngoyak sistem hukum demi kepentingan politik kelompok tertentu. Atas pertimbangan tersebut, ILUNI FHUI menyampaikan beberapa hal yang perlu menjadi perhatian yakni sebagai berikut:
1.
Menuntut DPR dan Pemerintah selaku penyusun revisi UU Pilkada, untuk mengedepankan materi dan norma yang terdapat dalam Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024. 2.
Mendesak DPR dan Pemerintah agar tidak lagi melanjutkan pembahasan revisi UU Pilkada yang dilaksanakan secara sembrono demi kepentingan politik golongan tertentu jelang Pilkada 2024. 3.
Menghimbau agar seluruh lapisan masyarakat untuk terus mengawal proses revisi UU Pilkada agar selaras dengan norma-norma dalam Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dengan tetap mengedepankan prinsip ketertiban umum. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .