Alumunium mencatat rekor terendah dalam enam tahun



JAKARTA. Kekhawatiran melambatnya permintaan dari China mendorong harga alumunium ke level terendah dalam enam tahun. Pergerakan harga pun sudah mencatat penurunan di hari ke empat.

Mengutip Bloomberg, Jumat (20/11) harga aluminum kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange tergelincir 1,3% dari sehari sebelumnya ke US$ 1.447 per metrik ton atau level terendah sejak Juni 2009. Dalam sepekan terakhir, alumunium anjlok 3%.

Pergerakan harga komoditas logam industri memang kompak mencatat rekor terendah di tengah kekhawatiran melambatnya permintaan dari China sebagai konsumen terbesar di dunia. Maklum, pertumbuhan ekonomi China tahun depan diprediksi mencatat rekor terendah dalam 25 tahun.


Pengamat Komoditas SoeGee Futures, Ibrahim mengatakan, China memiliki cadangan aluminium yang cukup besar. Namun, pabrik di China mulai mengurangi pembelian bahkan sama sekali tidak membeli alumunium adri dalam negerinya.

Akibatnya China tidak melakukan impor alumunium mengingat cadangan dalam negeri yang melimah. “Oleh karena itu wajar jika harga aluminium mencatat rekor terendah,” paparnya.

Angka produksi industri China per Oktober 2015 hanya sebesar 5,6% atau turun dari bulan sebelumnya 5,7%. Sementara pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2015 6,9% atau lebih rendah dari kuartal sebelumnya 7%. Ini menjadi sinyal negatif bagi alumunium sehingga harganya terus jatuh.

Alumunium digunakan sebagai bahan dasar pembuatan pesawat, rumah, hingga alat rumah tangga. Namun, penjualan rumah di China mengalami penurunan. “Ini memberi dampak luar biasa pada alumunium,” lanjut Ibrahim.

Di samping sebagai konsumen, China juga merupakan produsen alumunium terbesar di dunia. Melihat harga yang semakin jatuh, China member sinyal untuk membatasi produksi sebagai bagian dari perjanjian dengan Rusia.

Deputi Perdana Menteri Rusia, Arkady Dvorkovich dan Wakil Perdana Menteri China Zhang Gaoli telah menandatangai protocol Sino-Rusia dalam kerjasama enegeri tanggal 16 November lalu.

Salah satu bagian dari perjanjian tersebut adalah membawa prosuksi alumunium sejalan dengan permintaan.

Perjanjian tersebut juga mendukung hubungan antara produsen alumunium Rusia, United Co. Rusal dan Aluminum Corp. of China Ltd dalam mengembangkan pertambangan alumunium dan logam campuran baru.

“China akhirnya siap untuk meninjau kebijakan dalam industri aluminium dan membantu untuk menstabilkan pasar setelah harga turun ke tingkat di mana semua produsen aluminium bekerja di bawah nilai impas,” ujar Wakil Chief Executive Officer Russal, Oleg Mukhamedshin seperti dikutip Bloomberg.

Russal kemungkinan akan memangkas output sebesar 200.000 metrik ton di bulan Desember.

Ibrahim mengatakan, pemangkasan produksi memang perlu dilakuakn saat harga rendah agar perusahaan dapat lebih efisien. Namun, tingkat permintaan yang masih melambat akan tetap menjadi tekanan bagi harga ke depan.

Apalagi, ada sentimen lain siap menghadang laju pergerakan alumunium, yakni adanya kemungkinan naiknya suku bunga The Fed bulan Desember yang berpotensi melambungkan nilai tukar dollar AS.

Kini harapan pasar tinggal kemungkinan stimulus ekonomi dari Bank Sentral Eropa (ECB)dan Bank Sentral China.

“Setelah ECB memangkas suku bunga dan memberi stimulus ekonomi sebesar US$ 1,1 triliun, bulan depan alumunium diharapkan bisa rebound,” lanjut Ibrahim.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Havid Vebri