KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akhirnya batal mencabut kebijakan pasokan batubara dalam negeri (
Domestic Market Obligation/DMO) 25% dan juga patokan harga batubara US$ 70 per ton yang dijual kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Pembatalan rencana pencabutan DMO dan patokan harga itu merupakan upaya PLN kepada pemerintah, supaya suplai batubara dalam negeri kepada PLN tetap terjamin. Dengan begitu, harga listrik kepada pelanggan tidak terganggu. Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN, I Made Suprateka mengatakan, kedatangan Direktur Utama PLN Sofyan Basir ke Istana Negara untuk memberitahu kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa pencabutan batubara DMO dan patokan harga yang sudah ditetapkan senilai US$ 70 per ton bisa tambah membebankan PLN.
Sebab, dilihat dari realitasnya, kebutuhan DMO sebesar 25% cenderung masih kurang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri atau pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PLN yang ditargetkan tahun ini mencapai 92 juta ton. “Jika kebijakan itu dicabut, tidak ada yang mensuplai, listrik padam,” terangnya kepada KONTAN, Selasa (31/7). Selain itu, jika harga patokan dalam negeri juga ikut dicabut, maka kerugian yang ditanggung oleh PLN akan semakin berat. Asal tahu saja, kata Made, beban yang dikeluarkan PLN atas patokan harga itu senilai US$ 3,8 miliar. Nah, jika yang yang diinginkan pemerintah mencabut harga patokan harga demi mendapatkan devisa, setelah dihitung-hitung melalui pungutan US$ 3 per ton, hanya akan mendapatkan sekitar US$ 1,3 miliar. “Itu kan sia-sia, malah pemerintah nanti akan melakukan subsidi dari beban sisanya,” tandasnya. Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia mengatakan bahwa pihaknya mendukung apa saja kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Yang terpenting, pengusaha batubara pada tahun depan memiliki kepastian produksi dan kegiatan ekspor. Pasalnya, seperti diketahui, melalui kebijakan DMO 25% itu, banyak perusahaan batubara yang ikut merugi lantaran harus melakukan transfer kuota karena spesifikasi batubara yang dibutuhkan oleh PLN tidak sesuai dengan yang dimiliki perusahaan. “Belinya ke pihak lain pakai harga acuan, tapi yang dijual ke PLN pakai harga patokan. Kan rugi. Tapi kalau tidak dilaksanakan akan kena sanksi. Makanya kami minta kepastian itu,” kata Hendra kepada KONTAN, Selasa (31/7). Asal tahu saja, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan per tanggal 08 Juni 2018 mengeluarkan surat sanksi bagi perusahaan batubara yang tidak memenuhi kewajiban DMO 25%. Jika sampai pada akhir Juli 2018 pemenuhan DMO tidak dilakukan, maka perusahaan batubara itu akan dikenakan sanksi pemotongan produksi tahun 2018 yang telah disetujui dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB). Pengamat Ekonomi dan Energi dan Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, rencana pencabutan DMO dan patokan harga merupakan dukungan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Bisar Pandjaitan kepada pengusaha batubara. “Yang diajak rapat sebelumnya masa pengusaha, bukan PLN yang terkena dampak,” katanya kepada KONTAN.
Ia bilang, alasan yang dikemukakan Luhut bahwa kebijakan pencabutan akan menguntungkan PLN adalah mengada-ada. Pasalnya, ketentuan DMO Produksi batubara hanya 25% dari total penjualan, sedangkan 75% masih tetap bisa diekspor dengan harga pasar. Dengan DMO Produksi 25%, penambahan devisa dari ekspor sangat tidak signifikan, bahkan diperkirakan tidak ada tambahan devisa sama sekali untuk mengurangi defisit neraca pembayaran. Berdasarkan data Kementerian ESDM, total produksi batubara pada 2018 diperkirakan sebesar 425 juta metrik ton, harga pasar batubara pada Juli 2018 sebesar US$ 104,65 per metrik ton. Menurut Fahmy, kalau penjualan 25% kepada PLN atau sebesar 106 juta metrik ton dijual dengan harga pasar, maka tambahan pendapatan pengusaha batubara naik menjadi sebesar US$ 11,12 miliar (106 juta metrik ton X US$ 104,65). Tetapi kalau menggunakan harga DMO US$ 70 per metric ton, pendapatan pengusaha batubara hanya sebesar US$ 7,44 miliar (106 juta metrik ton X US$ 70). “Selisih perbedaan harga tersebut sebesar US$ 3,68 miliar. Menurut Bank Indonesia, defisit neraca pembayaran selama 2018 diperkirakan sebesar US$ 25 miliar, maka selisih harga itu tidak signifikan,” imbuhnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat