Amerika Serikat resmi keluar dari TPP



WASHINGTON. Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara resmi menarik keikutsertaan negaranya dalam Kemitraan Trans Pasifik, Senin (23/1) waktu setempat, sehingga resmi menjauhkan AS dari sekutu-sekutunya di Asia ketika saat bersamaan pengaruh China tengah meningkat di kawasan ini.

Memenuhi janji kampanyenya untuk mengakhiri keterlibatan Amerika dalam pakta perdagangan yang dibentuk pada 2015 itu, Trump menandatangani keputusan presiden atau executive order di Ruang Oval yang menarik keluar AS dari pakta TPP yang beranggotakan 12 negara itu.

Trump yang ingin menggairahkan lagi sektor manufaktur AS mengatakan  dia akan memburu kesepakatan dagang bilateral dengan negara-negara di dunia yang dengan pola begini AS dapat menghancurkan setiap kesepakatan dagang dalam waktu 30 hari jika negara calon mitra dagang AS melanggar kesepakatan.


"Kita akan menghentikan kesepakatan dagang yang menggelikan yang membuat semua orang di negeri ini lari ke luar negeri dan membawa perusahaan-perusahaan ke luar dari negeri kita," kata Trump dalam pertemuan dengan para pemimpin serikat pekerja di Ruang Roosevelt, Gedung Putih.

Pakta TPP yang dibeking kuat oleh para pengusaha AS telah dinegosiasikan oleh pemerintahan Presiden Barack Obama namun belum diratifikasi Kongres. Pakta ini menjadi pilar ekonomi utama pemerintahan Obama di kawasan Asia Pasifik demi menghalau pengaruh China.

Trump sudah membuat khawatir Jepang dan negara-negara di Asia Pasifik karena dia menentang TPP. Trump juga menuntut sekutu-sekutu AS membayar lebih untuk perlindungan keamanan yang diberikan AS kepada sekutu-sekutunya itu.

Sikapnya menyangkut perdagangan global mencerminkan perasaan umum rakyat Amerika bahwa kesepakatan dagang internasional lebih banyak merugikan pasar lapangan kerja AS. Partai Republik telah lama memandang bahwa pakta dagang itu memang keharusana, tapi pandangan itu kemudian berubah.

"Akan sangat sulit memerangi pertempuran itu. Trump merefleksikan sebuah kecenderungan yang kentara terjadi selama bertahun-tahun ini," kata Lanhee Chen dari Hoover Institution seperti dikutip Reuters.

Editor: Yudho Winarto