JAKARTA. Program amnesti pajak yang dicanangkan pemerintah Joko Widodo berhasil mengungkap dana senilai Rp 4.813 triliun dari harta wajib pajak Indonesia. Dari nilai tersebut, perinciannya: deklarasi dalam negeri Rp 3.633 triliun, deklarasi luar negeri Rp 1.034 triliun, dan repatriasi Rp 147 triliun.Namun, Center of Reform on Economics (CORE) mengungkapkan, pencapaian program tersebut pada kenyataannya masih jauh di bawah target yang diharapkan. Menurut Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal, tolok ukur keberhasilan program yang berjalan selama sembilan bulan itu bisa dilihat dari tiga aspek. Yakni tingkat partisipasi wajib pajak (WP), angka repatriasi, dan kontribusi terhadap penerimaan.Menurut Faisal, tingkat partisipasi Wajib Pajak (WP) yang memanfaatkan program ini masih rendah. Jumlah WP yang mengikuti program pengampunan pajak mencapai 891.577 WP per 31 Maret 2017. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan WP Wajib SPT yang mencapai 20,1 juta. Apalagi jumlah WP yang memiliki NPWP yang mencapai 32,7 juta.
Kemudian nilai repatriasi aset WP di luar negeri yang menjadi sasaran utama program ini hanya sebesar Rp 146 triliun. Angka ini jauh di bawah target pemerintah yang mencapai Rp 1.000 triliun. Adapun menurut dia, perluasan WP dari kebijakan
tax amnesty yang diharapkan dapat mendongkrak penerimaan pajak belum terlihat dampaknya selama triwulan pertama tahun 2017. “Indikasi ini terlihat dari realisasi penerimaan pajak sampai dengan 15 Maret 2017 yang baru mencapai Rp 145 triliun. Alih-alih mengalami peningkatan, capaian ini bahkan lebih rendah dibandingkan dengan penerimaan pajak pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp176 triliun,” kata Faisal. Padahal, menurut dia, potensi penerimaan pajak tahun ini idealnya lebih tinggi dibanding tahun lalu. Selain adanya perluasan basis pajak hasil dari kebijakan
tax amnesty, prospek pertumbuhan ekonomi tahun ini juga diperkirakan lebih baik dibandingkan tahun lalu. Guna mendongkrak penerimaan perpajakan ke depan, ia mengimbau pemerintah untuk melakukan reformasi mendasar terhadap regulasi perpajakan. Pertama, agenda penting dari reformasi tersebut antara lain menyederhanakan peraturan-peraturan perpajakan yang terlalu rumit. Di sisi lain, Revisi UU Perpajakan yang saat ini masuk dalam Program Legislasi Nasional juga perlu menyentuh penegakan hukum bagi WP yang tidak membayar pajak atau tidak melaporkan pajaknya sesuai ketentuan. Hal ini perlu ditunjang oleh perbaikan sistem pemantauan terhadap profil WP secara keseluruhan. “Otoritas pajak di Afrika Selatan, misalnya, tidak segan-segan menyita aset WP yang terindikasi melakukan penipuan dalam pelaporan pajak. Hanya dengan langkah-langkah ini, pertumbuhan jumlah WP hasil dari program pengampunan pajak akan diikuti dengan peningkatan kepatuhan pajak
(compliance rate),” jelasnya. Kedua, pemerintah perlu lebih optimal menggali penerimaan pajak dari jenis-jenis pajak potensial. Penerimaan dari pajak penghasilan (PPh) pasal 25/29 orang pribadi, misalnya, masih sangat rendah. Kontribusinya saat ini baru satu persen terhadap total penerimaan pajak. Demikian pula rasio keseluruhan PPh terhadap PDB Indonesia yang hanya 0,94% juga masih yang terendah jika dibandingkan dengan beberapa negara-negara ASEAN lain. “Selain PPh, pemerintah juga dapat menggali potensi penerimaan pajak dari aktivitas pembangunan infrastruktur yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah. Di antaranya pengenaan PPh 22 barang impor bagi barang impor yang digunakan untuk membangun infrastruktur, pengenaan PPh pasal 23 untuk jasa konstruksi, dan pengenaan PPh 26 untuk proyek infrastruktur yang menggunakan jasa konsultan asing,” katanya.
Ketiga, pemerintah harus memaksimalkan pengejaran atas WP yang belum melaporkan harta mereka yang disimpan di luar negeri lewat berbagai kerjasama bilateral maupun multilateral. Misalnya, kesepakatan Pertukaran Data Otomatis (AEoI) yang rencananya diimplementasikan Indonesia pada 2018 mendatang. Keempat, dari sisi kelembagaan, pemerintah perlu mempertimbangkan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada otoritas pengelola penerimaan negara melalui model otoritas penerimaan negara semi otonom atau Semi Autonomus Revenue Authority (SARA). Dalam model ini, nantinya otoritas yang mengurus masalah penerimaan negara terpisah dari Kementerian Keuangan. Beberapa keuntungan dari model ini, antara lain agar otoritas yang mengurusi penerimaan negara bisa lebih fokus mengatur urusannya sebagaimana institusi bisnis yang profesional, mengurangi intervensi politik, dan memperkuat transparansi proses pengawasan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie