SURABAYA. Hingga saat ini belum ada daerah di Indonesia yang mampu menerbitkan obligasi daerah, sebagai sumber pendanaan alternatif. Padahal, metode pembiayaan pembangunan infrastruktur menggunakan obligasi yang diterbitkan pemerintah daerah ini sudah diinisiasi sejak 2006 lalu. Sejak saat itu, beberapa daerah sudah mencoba menjajakinya seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat. Namun, hingga saat ini daerah-daerah itu tidak mampu untuk merealisasikannya, dengan berbagai alasan. Menurut Djustini Septiana, advisor group strategis Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), salah satu masalah utama yang dihadapi adalah rendahnya pemahaman pemerintah daerah akan obligasi daerah. Ketidakpahaman ini menimbulkan ketakutan dan perbedaan persepsi.
Salah satu perbedaan persepsi yang sering menjadi kendala adalah keberadaan auditor independen yang harus terlibat. Hal ini menjadi masalah bagi daerah karena menurut Undang-undang yang berlaku pemerintah daerah hanya diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sehingga, jika ada auditor lain selain BPK dianggap menyalahi aturan. Padahal, dalam aturan OJK setiap institusi yang menerbitkan obligasi alias surat utang harus diaudit oleh auditor independen yang terdaftar di OJK. Langkah itu sebagai bentuk pengelolaan transparansi dari institusi penerbit obligasi. "Kalau mau menerbitkan obligasi, memang dituntut untuk lebih transparan kepada publik," ujar Djustini, Kamis (25/11). Hal lainnya, adalah daerah juga dituntut untuk membuat laporan keuangan secara berkala dalam satu tahun dua kali. Saat ini, institusi pemerintahan terbiasa mengeluarkan laporan keuangan satu kali. Masalah lainnya adalah, tidak ada dukungan politik dari Dewan Perwakilan Daerah (DPRD). Banyak politisi di daerah bahkan pemerintah daerah yang menganggap obligasi adalah utang multiyears yang bisa menjadi masalah.