KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) dan Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) menolak implementasi pasal-pasal pertembakauan di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksana UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. ''Sebagai bagian dari hulu ekosistem pertembakauan yang turut memiliki peran strategis di dalam perekonomian Indonesia, ada 2, 5 juta petani tembakau dan 1,5 juta petani cengkeh yang terkena imbas dari tekanan peraturan ini,'' kata Budi, Sekertaris Jenderal APTI, dalam konferensi pers Senin (26/8) di Jakarta. Budi menjelaskan, produksi tembakau di Indonesia tahun 2023 mencapai 307,2 ribu, dimana Jawa Timur menjadi sentra produksi andalan nasional yang produksinya mencapai 135,117 ribu ton.
Saat ini, Budi melihat optimisme jutaan petani bersiap memasuki masa panen tembakau tengah meningkat terlebih angka produksi tembakau tahun ini diperkirakan naik. ''Apalagi, dengan harga tembakau di Indonesia rata-rata sekitar Rp 50.000, nilai produksinya Rp 15 trilun sampai Rp 20 triliun,'' ungkapnya. Menurut dia, yang menjadi urgensi kebutuhan petani saat ini adalah upaya untuk meningkatkan produktivitas petani tembakau, seperti pendampingan atau pelatihan pertanian. Kemudian, bantuan pupuk karena subsidi saat ini sudah dicabut, alat-alat yang mendukung mekanisasi pertanian hingga pengaturan proses tata niaga agar berpihak pada kesejahteraan petani. "Dukungan ini yang sangat kami butuhkan agar terus dapat bertumbuh, berdaya saing dan sejahtera," ujar Budi. "Pemerintah harusnya tidak gegabah dan terburu-buru dalam melahirkan peraturan seperti PP Nomor 28 Tahun 2024 yang bisa mematikan ladang penghidupan kami. Apalagi, disebut-sebut ancaman peraturan turunan PP Kesehatan ini akan segera disahkan,'' imbuhnya.
Baca Juga: Ekonom Usul Kenaikan Cukai Rokok Dilakukan Moderat dan Multiyears Saat ini, di Indonesia ada 14 sentra pertembakauan dengan lebih dari 100 jenis tembakau. Sekitar 70% dari 200.000 ton tembakau yang diproduksi oleh petani tembakau di Indonesia diserap oleh industri hasil tembakau (IHT). Dan, 99,96% dari total luas lahan sentra tembakau nasional, merupakan perkebunan rakyat. Dahlan Sahid, Ketua Umum APCI, menyebutkan, 97% produktivitas petani cengkeh diserap utuh oleh industri rokok kretek. Cengkeh merupakan dwi tunggal sebagai bahan baku utama rokok kretek. Oleh karena itu, petani cengkeh sangat bergantung pada keberlangsungan IHT. "Cengkeh merupakan salah satu subs-sistem dari ekosistem pertembakauan tanah air. Bersama dengan 2,5 juta petani tembakau, petani cengkeh berada di hulu, disusul oleh sekitar 600 ribu pekerja pabrik, pedagang dan UMKM," jelasnya. "IHT adalah lokomotif yang menyerap komoditas bahan baku, tenaga kerja dan pedagang. Sebagai satu kesatuan maka satu gangguan yang terjadi di salah satu mata rantai ekosistem IHT, baik di hulu maupun dihilir maka akan dirasakan akibatnya oleh yang lainnya," tambah dia. Gangguan terhadap IHT akan berakibat turunnya produksi rokok dan berujung pada petani cengkeh karena akan mengurangi serapan industri yang tentunya akan berakibat pada turunnya harga cengkeh. "Akhirnya, akan menurunkan penghasilan petani. Hal ini akan berefek panjang. Sepertinya tidak ada sektor industri lain yang dapat menyumbang ke kas negara seperti sektor tembakau," kata Dahlan. "Jangan mentang-mentang akan segera selesai masa jabatannya lantas Menteri Kesehatan mengesahkan aturan turunan tanpa mempertimbangkan keberadaan kami di sektor hulu. Kecenderungannya pemerintah saat ini ugal-ugalan mengesahkan aturan yang justru akan memberatkan Pemerintahan baru," sebut dia.
Baca Juga: Pamor Penjualan Ritel Modern & Warung Madura Meredup I Ketut Budhyman, Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), memaparkan, PP Nomor 28 Tahun 2024 memukul ekosistem pertembakauan di tengah optimisme petani. PP Kesehatan yang baru saja disahkan akan mematikan seluruh petani tembakau dan cengkeh karena pengetatan berbagai aturan di sisi hilir. Padahal para petani tembakau di Madura,Tulungagung, Temanggung, sedang optimistis karena hasil panennya bagus. Namun, keberadaan peraturan ini membuat jutaan petani khawatir terhadap keberlangsungan mata pencaharian mereka. Melihat pengalaman pada 2023, petani tembakau dan petani cengkeh memiliki harapan tinggi dan berada pada situasi optimis karena berhasil menjual hasil panennya dengan kualitas dan harga baik. "Petani berbudi daya dan panen dengan harapan semua hasilnya dengqn kualitas baik akan jadi sumber penghasilan. Namun harapan tersebut malah dihancurkan," ujar Ketut. "Cukup sudah berbagai regulasi yang menekan sektor tembakau. Aturan pemerintah ini ibarat menembak kaki sendiri. Padahal Kementerian Pertanian sudah membalas surat dari asosiasi petani tembakau dan menyampaikan bahwa PP Kesehatan tidak akan melukai kami," imbuhnya.
Dia menjelaskan, faktanya hari ini pasal-pasal di hilir sangat membuat kami khawatir. Prihatinnya lagi, Kementerian Kesehatan seperti tidak mengindahkan masukan Kementerian Pertanian yang mencoba mencari jalan tengah dengan tetap melindungi petani tembakau dan cengkeh. Kebijakan di hilir untuk mengendalikan konsumsi tembakau akan turut berdampak kepada pemangku kepentingan di sisi hulu: para petani. ''Saat ini beberapa daerah pertanian tembakau memulai proses panen. Namun di sisi hilir ancaman pasal-pasal Pengamanan Zat Adiktif di PP Kesehatan justru menimbulkan ketidakpastian," tegas Ketut. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Jane Aprilyani