KONTAN.CO.ID - Sejak pertama kali dilaporkan pada 1994, temuan kasus HIV/AIDS pada anak di Indonesia terus bertambah. Program pencegahan dapat meredam semakin banyaknya kasus anak terinfeksi HIV. Pertama kali kasus HIV/AIDS pada anak di Indonesia terjadi di Bojonegoro, Jawa Timur, setelah seorang ibu pengidap HIV melahirkan bayi perempuan. Hingga 2018, pengidap HIV pada anak dan remaja (di bawah 19 tahun) terus bertambah, mencapai 2.881 orang. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2010, yaitu sebanyak 1.622 anak terinfeksi HIV. Dari sisi usia, rentang anak berusia 15-19 tahun merupakan kelompok yang paling banyak terinfeksi HIV, diikuti kelompok anak usia 0-4 tahun, kemudian usia 5-14 tahun.
Tahun lalu, 1.434 anak usia 15-19 tahun terinfeksi HIV. Jumlah ini setara dengan 49 persen total anak yang terinfeksi HIV pada 2018. Sementara pada kelompok usia 0-4 tahun, 988 anak (34 persen) tertular HIV. Rentang usia 0-4 tahun merupakan kelompok yang paling menunjukkan peningkatan paling tinggi dibandingkan usia 5-14 tahun dan 15-19 tahun. Jika pada 2010 terdapat 390 anak usia 0-4 tahun terinfeksi HIV, jumlahnya meningkat lebih dari 2,5 kali lipat menjadi 988 anak pada 2018. Melihat data pengobatan terapi antiretroviral (ART) yang dilakukan anak dengan HIV/AIDS, Pulau Jawa merupakan wilayah dengan populasi paling banyak, diikuti Pulau Sumatera, Bali dan Nusa Tenggara, Papua dan Maluku, Kalimantan, serta Sulawesi. Terapi obat-obatan anti-HIV atau ART berfungsi menekan jumlah virus agar tetap stabil, tetapi tidak membunuh virus HIV atau menyembuhkannya. Setidaknya terdapat 2.223 anak terinfeksi HIV di Pulau Jawa yang menjalani terapi antiretroviral pada 2018. Jika dilihat dari sebaran provinsi, DKI Jakarta merupakan daerah dengan jumlah ADHA yang sedang mendapatkan pengobatan antiretroviral terbanyak, yaitu 640 anak. Setelah DKI Jakarta, diikuti Jawa Barat (621 anak), Jawa Tengah (412 anak), Jawa Timur (399 anak), dan Bali (256 anak). Kehamilan Cara penyebaran HIV/AIDS, selain hubungan seksual, berbagi jarum suntik, produk darah, dan organ tubuh, adalah penularan dari ibu hamil positif HIV kepada bayinya. Penularan tersebut dapat terjadi pada masa kehamilan, saat persalinan, dan selama menyusui. Kementerian Kesehatan mencatat, perinatal merupakan faktor risiko yang cukup banyak menyumbang peningkatan penyakit AIDS. Pada periode 2009-2017 setidaknya terdapat 3.020 kasus AIDS yang dilaporkan karena faktor perinatal. Kondisi yang harus diwaspadai dalam penyebaran infeksi HIV kepada anak adalah peningkatan jumlah perempuan yang terinfeksi HIV. Pada 2017 terdapat 17.579 orang perempuan yang terinfeksi HIV. Jumlah ini meningkat dari 3.565 perempuan pada 2008. Salah satu cara mencegah bertambahnya jumlah anak yang terinfeksi HIV adalah melakukan pencegahan penularan HIV dari ibu kepada anak (PPIA). Di Indonesia, program Prevention of Mother-to-Child HIV Transmission (PMTCT) telah dilaksanakan sejak 2004, khususnya di daerah dengan tingkat epidemi HIV tinggi. Awalnya, pemeriksaan HIV pada ibu hamil hanya dilakukan pada ibu dengan perilaku berisiko HIV dengan 94 layanan PPIA. Pada 2013, fasilitas yang memberikan pelayanan PPIA meningkat sebanyak 108 rumah sakit dan 370 puskesmas. Jumlah ibu hamil yang dites HIV juga meningkat dari 21.103 ibu hamil (2011) menjadi 137.000 ibu hamil (2014). Peningkatan ini didorong munculnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Aturan tersebut menyebutkan, semua ibu hamil di daerah epidemi meluas wajib mendapatkan tes HIV yang inklusif dalam pemeriksaan laboratorium rutin, bersama tes lainnya, sejak kunjungan pertama sampai menjelang persalinan. Selain perubahan kebijakan tersebut, terdapat juga perubahan dalam cara pengobatan ARV pada ibu hamil yang menetapkan bahwa semua ibu hamil dengan HIV diberi pengobatan antiretroviral. Data terakhir hingga 2017, fasilitas yang memberikan layanan HIV/AIDS di Indonesia terdiri dari 5.124 layanan tes HIV dan 175 layanan PPIA. Pencegahan Upaya ini menggambarkan gerakan penanggulangan HIV/AIDS tidak melulu berupa pelayanan pengobatan kepada pengidap HIV, tetapi juga bisa melalui pencegahan dini. Ibu hamil saat memeriksakan kehamilannya sebaiknya diperiksa pula status HIV-nya agar apabila positif dapat segera diberi tindakan pengobatan. Dengan begitu, penularan kepada bayi dapat diminimalisasi sehingga kesehatan ibu dan anak yang dikandungnya terjamin. Model pencegahan seperti ini sukses dilakukan di sejumlah negara. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberi syarat keberhasilan sebuah negara harus mampu menekan hingga kurang dari 2 persen penularan HIV dari ibu kepada anak dan kurang dari 50 kasus infeksi baru dalam 100.000 kelahiran. Kuba menjadi negara pertama di dunia yang mampu mencapai target tersebut pada 2015 lalu. Selain Kuba, WHO juga mengumumkan, Belarus dan Armenia juga berhasil menghentikan penyebaran HIV dan sifilis dari ibu kepada anak.
Pada 2016, WHO menyatakan, Thailand menjadi negara pertama di Asia yang berhasil menghapus penularan HIV dan sifilis dari ibu dan anak. Sukses Thailand berawal dari perhatian kuat pada penanganan prakelahiran mulai dari kota-kota besar hingga desa-desa miskin. Hampir semua perempuan hamil menjalani pemeriksaan HIV. Sebanyak 95 persen dari mereka yang dinyatakan positif HIV menjalani penanganan khusus untuk mencegah penularan kepada bayi. Semua bayi yang lahir dari perempuan positif HIV mendapat obat penangkal reproduksi virus. Sukses yang bisa dicapai negara-negara lain memberi inspirasi bahwa pencegahan infeksi HIV pada anak dan bayi dapat dilakukan. Fasilitas layanan HIV dapat dibangun, anggaran pelayanan HIV dapat dirumuskan, obat-obatan juga makin mudah diproduksi. Kuncinya adalah komitmen kebijakan yang konsisten dan berkelanjutan dengan melibatkan elemen masyarakat supaya tidak makin banyak anak dan bayi terinfeksi HIV. (LITBANG KOMPAS) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Syamsul Azhar