Anak Usaha Astra Agro Lestari Bantah Tuduhan Perampasan Tanah Masyarakat



KONTAN.CO.ID - PASANGKAYU. Anak usaha PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), PT Mamuang yang berlokasi di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat, membantah tuduhan perampasan tanah masyarakat secara paksa.

PT Mamuang pun menjelaskan duduk perkara terkait munculnya tuduhan perampasan tanah masyarakat secara paksa tersebut. PT Mamuang juga dituduh melakukan kriminalisasi dan pelanggaran hak asasi manusia.

Pada September 2022, sebanyak 55 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di berbagai negara membuat surat terbuka kepada perusahaan-perusahaan consumer goods multinasional yang memperoleh pasokan minyak sawit mentah dari Astra Agro Lestari. Surat terbuka ini ditujukan kepada direktur utama Procter & Gamble, Hershey’s, Kellogg, Unilever, Mondelz, Colgate-Palmolive, PepsiCo, dan Nestlé.


Dalam surat terbuka tersebut, berbagai LSM ini menyoroti penangkapan lima petani pribumi dan anggota masyarakat suku Kaili Tado oleh polisi Pasangkayu pada Maret 2022 yang disinyalir dilakukan karena tuduhan PT Mamuang. Merujuk surat terbuka itu, tuduhan tersebut dibuat oleh PT Mamuang setelah anggota Aliansi Masyarakat Kabuyu berbaris ke kantor PT Mamuang pada Februari 2022 untuk memprotes sikap perusahaan.

Baca Juga: Harga CPO Dinilai Masih Prospektif, Ini Rekomendasi Saham Jagoan Analis

Mereka mengklaim, PT Mamuang secara berkelanjutan merampas tanah masyarakat secara paksa, berkontribusi terhadap perusakan lingkungan, berdampak negatif terhadap mata pencaharian masyarakat, dan mengkriminalisasi pembela hak asasi manusia di bidang tanah dan lingkungan. Pemimpin yang protes adalah salah satu dari lima petani yang ditangkap, sedangkan dua dari lima petani yang ditangkap tidak ada selama protes berlangsung.

Merespons hal ini, Humas PT Mamuang Hermanto Rudi mengatakan, tuduhan PT Mamuang melakukan perampasan tanah masyarakat maupun tanah adat hanyalah isu yang dibangun oleh oknum di masyarakat sekitar. Menurutnya, hubungan PT Mamuang dengan ketua adat, kepala desa, dan mayoritas masyarakat yang ada di sekitar perkebunan sawit PT Mamuang terjalin dengan baik.

Terkait dengan tuduhan perampasan tanah yang diklaim sebagai tanah adat, Rudi mengatakan, tuduhan tersebut tidak berdasar. Protes yang dilakukan segelintir warga berlangsung di areal kebun PT Mamuang yang sedang dilakukan penanaman kembali (replanting) yang biasanya terlihat seperti tanah kosong.

“Mereka beranggapan replanting di area tersebut artinya Hak Guna Usaha (HGU) sudah habis sehingga mereka mencoba masuk dengan membangun pondok-pondok,” tutur Rudi di Pasangkayu, Sulawesi Barat, Selasa (18/10). Padahal, HGU PT Mamuang masih berlaku untuk beberapa tahun ke depan.

Rudi menjelaskan, PT Mamuang beserta perkebunannya terletak di dua desa, yakni Desa Martasari dan Desa Pejalele, Pedongga, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat. Di dua desa ini, terdapat banyak dusun dan suku, salah satunya adalah suku Kaili Tado yang berlokasi di Dusun Kabuyu.

PT Mamuang mengajukan HGU pada 28 April 1994 setelah melakukan survei lahan sejak 1990. Kemudian, pada 2 Oktober 1998, perusahaan memperoleh sertifikat HGU untuk 8.000 hektare dari 12.860 hektare yang diajukan. Sebelum mengajukan HGU, perusahaan sudah mengeluarkan 250 hektare lahan dari permohonan HGU karena lahan tersebut sudah ditempati masyarakat Kabuyu.

“Dulu di Kabuyu hanya ada tujuh sampai sepuluh orang. Tim penyedia tanah tidak memasukkan 250 hektare dalam permohonan HGU karena berpikir bahwa 30 tahun ke depan, penduduk Kabuyu akan semakin banyak. Jadi, HGU 8.000 hektare tersebut secara bersih dikuasai perusahaan. Batas lahan kami dengan masyarakat juga jelas, ada jalan, parit, dan lain-lain,” tutur Rudi.

Selain itu, penduduk yang mendiami Dusun Kabuyu saat ini sudah bukan penduduk lama, melainkan banyak pendatang dari suku Jawa, Bugis, Bali, dan lain-lain. Pasalnya, penduduk asli menganut sistem pertanian nomaden sehingga setelah selesai panen di suatu lahan akan berpindah ke lahan lainnya.

Lebih lanjut, laporan ke polisi terhadap pemprotes bukan dilayangkan oleh PT Mamuang, melainkan oleh perorangan yakni sopir truk pengangkut sawit. Saat melakukan protes, oknum ini memaksa sopir truk untuk menurunkan tandan buah segar yang ada di truk dan mengancam untuk memukulnya.

Menurut Rudi, kasus sengketa tanah seperti ini merupakan kejadian berulang di PT Mamuang namun tidak pernah terbukti adanya perampasan tanah. Sebelumnya, sempat ada yang menyengketakan tanah di HGU PT Mamuang seluas 500 hektare dengan pemrotes yang berbeda.

Tuntutan pemrotes tersebut sempat menang di tingkat Pengadilan Negeri setempat, tetapi kalah di tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Alhasil, PT Mamuang sepenuhnya menang dan PK (Peninjauan Kembali) pihak penuntut ditolak.

Kepala Bagian Tata Pemerintahan Kabupaten Pasangkayu Muhammad Abduh mengatakan, protes seperti itu merupakan protes musiman menjelang tahun pemilihan umum. Protes tersebut dimobilisasi oleh segelintir orang demi kepentingan tertentu.

Perampasan tanah adat juga dinilai hanya sebagai dalih, sebab yang mendominasi area tersebut saat ini bukanlah penduduk asli melainkan para pendatang. “Mengapa dikatakan tanah adat? Toh di dalam wilayah itu ada berbagai macam suku karena mereka datang dari luar alias bukan orang asli situ,” ucap Abduh.

Secara hukum, pembebasan lahan juga mempunyai mekanisme yang berlaku. Lahan yang dibebaskan pemerintah (tidak masuk HGU), tidak serta merta menjadi lahan milik masyarakat.

Sebagai tindak lanjut, Abduh mengatakan, pihaknya sudah mengeluarkan himbauan melalui surat resmi kepada masyarakat sejak sering terjadi kisruh. Pemerintah meminta tidak ada lagi kelompok yang tidak berbadan hukum dan tidak memiliki legalitas di Pasangkayu untuk membuat-buat klaim kepemilikan lahan.

Abduh berpendapat, protes-protes seperti itu dapat berdampak sangat besar terhadap iklim investasi di Pasangkayu. Ia khawatir, apabila pemerintah mendukung protes-protes ini, maka iklim investasi akan terganggu sehingga serapan hasil perkebunanan sawit milik masyarakat akan berkurang.

Jika sudah begitu, masyarakat akan kembali mengadu kepada pemerintah. Program corporate social responsibility (CSR) maupun kerja sama untuk memajukan investasi juga akan terhambat. Padahal, berbagai pembangunan infrastruktur di Pasangkayu merupakan hasil kerja sama dan CSR dengan Astra Agro Lestari beserta anak usahanya, serta perusahaan lainnya.

Kepala Adat Kaila Tado Hidu Haju (58) yang memimpin sejak 2013 menjelaskan, dirinya sudah melarang protes yang dilakukan dalam bentuk membangun pondok di kebun kosong yang bakal ditanam kembali. Menurutnya, permasalahan yang ada lebih baik dinegosiasikan secara baik-baik dengan perusahaan.

Terkait dengan tanah adat, ia mengakui memang ada titipan dari orang tua dahulu. “Namun, tidak ada surat-suratnya. Letaknya juga tidak ketahuan. Tanah itu titipan sejak zaman penjajahan,” ungkap Hidu.

Menurutnya, yang melakukan protes tersebut kebanyakan berasal dari luar suku Kaili Tado. Setelah adanya penegakan hukum yang melibatkan pihak berwenang, Hidu meminta yang membangun pondok-pondok tersebut untuk membongkarnya hingga tidak ada yang tersisa satupun agar tidak ditindak secara adat.

Baca Juga: Soal Ancaman Produk Minyak Sawitnya Diblokir Nestle, Ini Jawaban Astra Agro (AALI)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat