KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten BUMN dan anak usahanya kerap menjadi motor penggerak pasar saham domestik. Namun kini berbeda dengan sang induk, belakangan sebagian emiten anak usaha BUMN seperti tak berdaya. Kinerja saham anak usaha yang paling anyar masuk bursa, PT PP Presisi Tbk (PPRE), juga masih tertahan. Belum genap sepekan masuk bursa, harga saham PPRE sudah merosot 11,16% menjadi Rp 382 per saham. Anak usaha PT PP Tbk (PTPP) ini menawarkan saham IPO di level Rp 430 per saham. Harga saham dua anak usaha BUMN lainnya, PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP) dan PT GMF AeroAsia Tbk (GMFI) juga belum bisa bangkit. Saham kedua emiten ini masih minus dibandingkan harga IPO masing-masing
(lihat tabel). Analis Semesta Indovest Aditya Perdana Putra menilai, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan saham maupun fundamental emiten anak usaha BUMN.
Pertama, kinerja anak BUMN cenderung mengikuti pola sang induk. "Bisnisnya akan banyak bertumpu pada induknya," kata dia, kemarin. Meski demikian, bukan berarti emiten anak usaha BUMN selalu berada di bawah induknya. "Mereka tetap bisa punya valuasi lebih tinggi daripada induknya. Ketika
revenue lebih tinggi,
earning mereka pun bisa lebih tinggi dari induknya," tutur Aditya. Selanjutnya, sektor bisnis pun tetap menentukan. Tahun ini, misalnya, Aditya melihat ada tekanan di sektor konstruksi. Hal ini pun berimbas ke emiten anak usaha BUMN konstruksi. Misalnya, PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP), PT Wijaya Karya Beton Tbk (WTON) maupun PT PP Properti Tbk (PPRO). Hal senada dikemukakan Direktur Investa Saran Mandiri, Hans Kwee. Investor cenderung berhati-hati. Di sektor konstruksi, kecemasan muncul terkait isu pemangkasan anggaran infrastruktur. "Belakangan ini beberapa anak BUMN konstruksi masuk ke pasar, namun minat orang agak berkurang," ungkap dia. Pola penurunan minat investor pada saham anak usaha BUMN mulai terlihat dua tahun terakhir. Tak hanya dari sisi sektor, hal ini juga dipengaruhi penawaran saham emiten anak usaha BUMN ketika akan melangsungkan debut perdananya. Hans melihat permintaan saham anak-anak BUMN saat IPO cenderung sedikit, sehingga akhirnya emiten harus mengurangi jumlah yang ditawarkan. "Kemudian seringkali harganya ditetapkan di batas bawah," jelas Hans. Belum lagi, harga sahamnya berpotensi turun pasca pencatatan perdana, menyebabkan investor sungkan masuk.
Meski demikian, secara umum Aditya menilai saham emiten anak usaha BUMN cukup atraktif dan tidak jauh berbeda dengan emiten anak usaha non-BUMN. Hanya saja, anak usaha BUMN biasanya lebih aman. "Ada sinergi yang cukup menarik. Kontrak juga aman, pembagian dividen lebih terjamin," ujar Aditya. Meski demikian, ia tak menampik ada sisi negatif. Misalnya dari kemampuan untuk berkompetisi dalam industri. Karena itu, Aditya menyarankan investor memperhatikan kesesuaian harga saham dan fundamental emiten. Jangan lupa cermati sektor bisnisnya. "AGRO misalnya, saham cukup premium, tidak sesuai fundamental. Ini patut dicermati," kata Aditya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini