Analis bilang rupiah membutuhkan intervensi



JAKARTA. Tren pelemahan rupiah rupanya terus berlanjut hingga hari ini (25/6). Bahkan, pada perdagangan hari ini, Selasa (25/6), rupiah sempat menyentuh level Rp 10.010 per dolar Amerika Serikat (AS) siang tadi.

Reny Eka Putri, Analis Bank Mandiri, menilai, pelemahan didorong oleh sentimen negatif dari pihak asing, khususnya China. "Krisis likuiditas dari People's Bank of China (PBoC) masih terjadi," imbuhnya kepada KONTAN, Selasa (25/6).

Kekeringan likuiditas memicu kejatuhan bursa saham Shanghai dan Asia. Pasalnya, toleransi atas krisis likuiditas membuat suku bunga acuan di China naik, dan sempat menyentuh angka 12%. Akibatnya sudah jelas, aliran dana asing yang keluar (capital outflow) dari dalam negeri terjadi secara intens.


"Dari dalam negeri, kenaikan BBM juga membuat investor khawatir. Hal ini membuat capital outflow yang terjadi kian besar," jelas Reny. Lebih jauh, Reny menganjurkan Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi yang lebih agresif, khususnya di pasar valas.

Soalnya, kata Reny, jika intervensi yang dilakukan dalam bentuk kenaikan suku bunga sudah tidak memungkinkan lagi, karena BI baru saja menaikkan BI rate sebanyak 25 basis poin menjadi 6%.

Jadi, intervensi yang paling logis dilakukan BI menurut Reny adalah, membatasi penjualan rupiah oleh bank-bank asing di Indonesia. Dengan intervensi itu, diharapkan rupiah tidak anjlok hingga ke level terbawah.

Jika intervensi berhasil dan dikombinasikan dengan beberapa kebijakan ekonomi pemerintah yang sudah bisa diadaptasi para pelaku pasar, maka rupiah berpotensi kembali menguat akhir tahun nanti.

Potensi penguatan ini juga didorong oleh dekatnya pemilu, yang mana pada masa itu kebutuhan masyarakat biasanya meningkat. "Hingga akhir tahun, rupiah mungkin bisa kembali menguat pada level Rp 9.800 – Rp 9.900 per dolar AS," pungkas Reny.

Zulfirman Basyir, analis dari Monex Investindo Futures memiliki anggapan serupa dengan Reny. Menurutnya, kenaikan harga BBM dan suku bunga membuat posisi rupiah kian tertekan. Ia menilai, sentimen asing lebih mendominasi pelemahan rupiah. "Sentimen itu datang dari pengurangan stimulus moneter dari The Fed," imbuhnya.

Mengenai proyeksi rupiah hingga akhir tahun nanti, Zulfirman agaknya berpendapat berbeda. Menurutnya, kondisi rupiah akhir 2013 tidak akan jauh berbeda seperti saat ini. Pasalnya, investor masih khawatir dengan The Fed yang belum memberikan sinyal penguatan stimulus moneter.

Biasanya, penguatan atau pengurangan stimulus moneter ini bakal dibahas dalam pertemuan The Fed pada September nanti. "Tapi biasanya sih, enggak ada perubahan. Tapi paling tidak, BI harus melakukan intervensinya seperti selama ini. BI harus mampu memberikan sinyal netral dalam mengatasi inflasi pasca  kenaikan BBM sehingga rupiah tidak semakin melemah," jelas Zulfirman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri