KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelemahan harga batubara menggerus kinerja PT Harum Energy Tbk (
HRUM, anggota indeks
Kompas100). Analis mengatakan efisiensi menjadi kunci kinerja HRUM bisa membaik. Hingga kuartal I 2019, HRUM belum mampu mencatat kinerja positif. Berdasarkan laporan keuangan, pendapatan HRUM tercatat turun 16,98% menjadi US$ 72,06 juta dari US$ 86,81 juta di periode yang sama tahun lalu. Sementara, penurunan lebih dalam terjadi pada pos laba bersih yang turun 49,43% menjadi US$ 6,38 juta dari US$ 12,61 juta di periode yang sama tahun lalu. Dessy Lapagu Analis Samuel Sekuritas Indonesia mengatakan pelemahan yang terjadi di kuartal I mayoritas disebabkan oleh pelemahan harga batubara global. Tercatat, harga batubara kontrak pengiriman Juli 2019 di ICE Futures melemah 22,55% sejak awal tahun hingga Senin (8/7). "Penurunan kinerja laporan keuangan di kuartal I juga terjadi pada emiten lain selain HRUM," kata Dessy, Selasa (9/7).
Baca Juga: Setelah izin Tanito Harum dicabut, kepastian bisnis PKP2B lain tidak jelas Selain itu, Dessy melihat secara musiman produktivitas di kuartal I 2019 cenderung lebih rendah akibat musim hujan dari kuartal IV 2018. Kondisi ini mengakibatkan produsen tidak memproduksi sebagaimana ketika curah hujan rendah. Dessy memproyeksikan harga batubara global berada di US$ 81 per metrik ton di akhir tahun atau turun 21% sejak awal tahun 2019. Namun, jika dihitung dari posisi harga batubara per Selasa (8/7) yang berada di US$ 75,20 per metrik ton maka harga batubara berpotensi naik. Di tengah harga batubara yang cenderung menurun, Dessy mengatakan strategi yang bisa dilakukan emiten adalah melakukan efisiensi demi menekan
cost di tengah harga jual atau
average selling price (ASP) yang rendah dan tidak bisa dihindari. Efisiensi juga bisa menjadi solusi pada produksi yang tak masif. Perseroan menargetkan jumlah produksi tahun ini sebesar 5 juta ton. Dessy menilai target produksi yang flat atau hanya naik 8,7% dari realisasi produksi di tahu lalau yang sebesar 4,6 juta ton bukan menjadi patokan bahwa kinerja emiten akan melemah ke depannya.
Baca Juga: POLY ekspansi bisnis dengan meningkatkan nilai tambah bahan baku "Faktor penting lainnya adalah efisiensi yang dilakukan emiten demi menekan biaya sehingga dapat menghasilkan pertumbuhan net profit yang baik," kata Dessy. Dengan demikian, meski pertumbuhan volume flat dan kenaikan harga jual tidak signifikan, hal tersebut masih dapat dikompensasi dengan pencapaian net profit yang positif dari efisiensi. Selain itu, strategi lain yang bisa dilakukan adalah diversifikasi anak usaha ke
downstream atau hilir seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) bisa menjadi pilihan jangka panjang bagi emiten untuk mempertahankan penjualan
inventory batubara. Eksplorasi atau akuisisi tambang lain yang memiliki
reserves coking coal juga bisa dilakukan. karena karakteristik
coking coal yang mayoritas dikonsumsi oleh industri baja serta ekspansi industri baja dalam jangka panjang masih akan meningkat secara global. Dessy belum memiliki target harga untuk HRUM di akhir tahun. Sedangkan, Janeman Latul Analis PT Deutsche Verdhana Sekuritas Indonesia merekomendasikan
hold saham HRUM di target harga Rp 1.400 per saham.
Baca Juga: Jika suspensi saham KIJA kelak dicabut, begini rekomendasi analis Janeman merekomendasikan
hold karena melihat ke depan pasar Asia cenderung mencari batubara yang rendah kalori atau di bawah 5.000 kcal per kilogram dengan kandungan sulfur rendah di bawah 0,4%.
Sementara, Janeman mencatat dalam riset 13 Juni 2019, rata-rata produksi batubara HRUM terjebak pada hasil batubara dengan kalori 5.500 kcal per kilogram dengan sulfur 0,8%. Janeman memproyeksikan pendapatan HRUM di tahun ini menurun 11,7% dengan laba yang juga masih menurun sebesar 56,9%. "
Cost tinggi dan jatuhnya harga batubara bisa menggerus margin dan pendapatan," kata Janeman. Sementara, Thomas Radityo Analis Ciptadana Sekuritas merekomendasikan
buy di target harga Rp 1.650 per saham. Kompak, Stefanus Darmagiri Analis Danareksa juga merekomendasikan
buy di target harga Rp 2.000 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi