JAKARTA. Saham emiten perkebunan kelapa sawit mulai layu. Sejak awal tahun, saham sektor perkebunan cuma mampu menghijau 0,07%. Analis menilai bahwa belum ada katalis positif yang dapat menyuburkan kinerja para emiten perkebunan. Analis Ciptadana Securitis Andre Varian menyebut bahwa hal ini disebabkan harga Crude Palm Oil (CPO) yang masih rendah di kisaran RM 2.200 per ton. Lalu harga minyak dunia pun masih rendah. Permintaan CPO dari luar negeri pun mulai berkurang. Andre bilang, ekspor CPO ke Cina menurun di Januari dan Februari. Analis First Asia Capital David Sutyanto menambahkan, India pun memilih untuk mengurangi CPO dan mengimpor sunflower seed oil dari Ukraina.
"Tahun ini CPO tak lagi menjadi unggulan karena kondisinya tak terlalu bagus," ucap David, Senin, (16/3). Meski begitu, ia masih berharap kondisi harga kelapa sawit dapat membaik di semester kedua ini seiring perbaikan panen. Ia memperkirakan, harga CPO akan berada di rentang RM 2.200 sampai RM 2.300. Kemudian Andre memprediksi harga CPO akan berada di kisaran RM 2.300. Rencana pemerintah yang akan menggenjot penggunaan biodiesel pun tak bisa banyak diharapkan. Andre mengaku skeptis dengan wacana biodiesel ini. Tahun lalu pun, pemerintah tak bisa mencapai target. Jika pun berjalan di tahun ini, ia memperkirakan CPO yang terserap untuk biodiesel hanya sekitar 5% sampai 7% dari total produksi. Serupa, David pun memandang kebijakan biodiesel hanya merupakan wacana hingga saat ini. Pasalnya, fasilitas dan kapasitas penerapan biodiesel tersebut masih belum jelas. Kemudian, ada pula rencana penurunan batas referensi harga CPO yang dikenai bea keluar. David merasa pemerintah memang tengah menggenjot raihan pajak. Dus, Andre melihat posisi harga CPO yang tengah lemah ini membuat emiten mendapatkan bea keluar 0%.